Rabu, 29 Agustus 2007

hermenetika tafsiran

HERMENEUTIKA DAN PEREMPUAN
(Hermeneutika Pembebasan Perempuan Dari Tindak kekerasan Berbasis Penafsiran)
Oleh: Suratno

jtau menolak jenis-jenis kekuasaan tertentu. Jadi, hermeneutika tidak hanya sebatas menjalankan penafsiran secara teknis, tetapi lebih jauh dari itu, setiap produksi tafsiran sesungguhnya selalu bermakna serta berakibat politis sehingga problem penafsiran hermeneutis sama nilainya dengan politik hermeneutika.

Politik hermeneutika ini secara umum mengandung dua persoalan yang saling berkaitan. Pertama, hermeneutika berkaitan dengan kedudukan penafsir, teks, serta konteks persoalan yang melingkupinya, baik dalam kurun historis maupun konteks sosiologis tertentu. Dengan demikian, problem pertama hermeneutika adalah menyangkut (politik) bahasa. Peranan bahasa menjadi sentral karena ia merupakan representasi (penghadiran kembali) segala persoalan, realitas, peristiwa, kekuasaan, identitas kelompok, gender dan seksualitas serta berbagai kepentingan lain yang menyertainya. Bahasa menjadi arena bagi kita untuk “hidup” karena ia pula yang menjadi situs untuk melakukan perjuangan. Lantas, dimana posisi Tuhan dalam bahasa itu sendiri karena Tuhan menjadi sosok yang dijadikan pertaruhan terakhir dalam arena konflik saat menafsirkan teks-teks kitab suci? Karl Barth menyatakan bahwa firman (kata-kata) Tuhan merupakan kebenaran absolut sehingga konsekuensinya kata-kata manusia yang terbatas (tidak absolut) tidak mampu dan tidak cukup merepresentasikan-Nya. Lebih lanjut, Barth menjelaskan bahwa pewahyuan teks-teks kitab suci merupakan ketidaktersingkapan kebenaran dalam ketersingkapan itu sendiri. Atau, merujuk Jacques Derrida yang menyatakan bahwa sejarah Tuhan dan nama Tuhan merupakan sejarah kerahasiaan. Oleh karena itu, segala jenis penafsiran merupakan usaha yang tidak akan pernah selesai dalam menyingkap kerahasiaan Tuhan tersebut.

Kedua, hermeneutika berkaitan dengan problem penafsiran teks. Teks berasal dari kata Bahasa Latin textus yang berarti sesuatu yang tertenun secara bersamaan. Apa yang tertenun tidak lain merupakan tanda dan kebahasaan yang dilatar belakangi konteks sejarah dan budaya tertentu. Bila suatu teks (seperti kitab suci) diproduksi dalam kurun waktu yang sangat lampau dan pengarangnya tidak dapat hadir, bagaimana kalangan agamawan pada saat sekarang (sebagai penafsir) dapat menafsirkan teks itu dengan baik dan benar? Dari segi teknis, teks-teks dalam kitab suci dan teks-teks pendukungnya merupakan produk bahasa tulisan yang tentu memiliki perbedaan dengan bahasa lisan. Dengan demikian, secara otomatis problem teknis-penulisan menjadi problem substansi-penafsiran. Untuk mengatasinya, metode hermeneutika yang akan digunakan bisa mengadopsi cara berpikir aliran strukturalisme dengan prinsipnya the death of the author (matinya sang pengarang). Atau seperti Paul Riceoeur, bahwa teks memiliki otonominya sendiri karena sudah terbebas dari intensi atau maksud si pengarangnya, dari situasi sosial dan dari kondisi budaya yang melatar belakangi lahirnya suatu teks, serta untuk siapa teks itu ditujukkan. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi problem bukan apa yang dimaksud si pengarang dengan teks yang dilontarkannya, melainkan pada kemampuan dan kepentingan politik si penafsir untuk “menghidupkan kembali” teks tersebut sesuai dengan kondisi yang menyertainya.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa problem penafsiran hermeneutis ataupun politik hermeneutika, pada intinya, terkait dengan proses menafsirkan teks yang muncul ketika seseorang mengalami keterasingan (alienation) terhadap teks dan maknanya. Namun, politik hermeneutika telah direfleksikan lebih jauh, sehingga tidak saja mencakup metode memahami teks asing, tetapi juga hakikat penafsiran itu sendiri dan bahkan hal-hal di luar teks dan penafsir, serta bahasa yang turut mengatur hasil-hasil penafsiran. Dalam konteks ini kita harus memahami 3 paradigma hermeneutika kontemporer dalam merespon problem penafsiran hermeneutis atau politik hermeneutika seperti di atas yakni hermeneutika teoritis, filosofis dan kritis . Ketiganya akan diterangkan secara ringkas berikut ini.

1. Hermeneutika Teoritis
Dalam hermeneutika teoritis, problemnya adalah metodologi. Jadi, yang menjadi masalah adalah metode apa yang sesuai untuk menafsirkan teks sehingga mampu menghindarkan seorang penafsir dari kesalahpahaman, dus menemukan makna objektif dan dengan metode yang valid. Menurut Schleiermacher, ada 2 bagian yang perlu diperhatikan dalam menafsirkan teks yakni gramatikal dan psikologis.

Dalam penafsiran secara gramatikal, ada 2 prinsip penting yakni; pertama, segala yang membutuhkan ketetapan makna dalam suatu teks tertentu hanya dapat diputuskan dengan merujuk pada lapangan kebahasaan –(kebudayaan)—yang berlaku diantara pengarang dan publik pendengarnya. Kedua, makna suatu kata dari sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada ko-eksistensinya dengan kata-kata lain di sekelilingnya. Dari kedua hal ini, bisa dipahami bahwa penafsiran selalu bersifat holistik dan parsial secara sekaligus dan hal ini oleh Schleiermacher disebut sebagai “Lingkaran Hermeneutik”, yang tidak bisa dipecahkan melalui logika struktural, tetapi melalui cara intuitif ataupun penafsiran secara psikologis.

Dalam penafsiran psikologis, kegiatan menafsirkan tidak hanya berarti bahwa si penafsir menggunakan pengetahuan linguistik dan sejarah kebahasaan yang diperolehnya, tetapi harus merekonstruksi secara imajinatif suasana batin si pengarang. Jadi dalam penafsiran psikologis, kegiatan menafsirkan bukan hanya sebagai peristiwa sejarah tetapi juga peristiwa mental (psikologis).

2. Hermeneutika Filosofis
Jika dalam hermeneutika teoritis penafsiran merupakan proses reproduksi makna sebagaimana diinginkan oleh si pengarang, maka dalam hermeneutika filosofis penafsiran berarti proses produksi makna baru, bukan reproduksi makna awal. Hans George-Gadamer menjelaskan bahwa penafsiran selalu merupakan proses sirkular sehingga kita hanya dapat memahami masa lalu (teks, pengalaman dan sejarah) dari sudut pandang kita dan sudut kekinian kita (our historical present). Oleh karenanya, Gadamer menolak pernyataan yang menganggap bahwa penafsiran merupakan reliving masa lalu dengan menghilangkan identitas penafsir. Penafsir dan teks senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing sehingga sadar atau tidak, penafsir selalu memiliki pra-paham tertentu terhadap teks dan ini menjadikannya sulit menafsirkan teks dari sisi yang netral. Penafsiran hanya mungkin dilakukan melalui the fusion of horizons, yakni mempertemukan pra-paham penafsir dan cakrawala makna yang dikandung teks. Karena gagasan hermeneutika yang ontological oriented ini Gadamer dianugerahi predikat teoritikus yang merehabilitasi konsep prasangka (prejudice), yang krusial bagi pemahaman historis dan budaya. Ini tentu menarik, karena pada saat itu diskursus filsafat dan ilmu pengetahuan masih didominasi saintisme yang bercorak positivistik, di mana netralitas keilmuan dan objektivitas pengetahuan serta orientasi ilmu yang bebas nilai sangat anti-prasangka. Sementara, bagi Gadamer, prasangka sangat penting artinya bagi pemahaman.

3. Hermeneutika Kritis
Hermeneutika filosofis seperti di atas selanjutnya mendapat tentangan dari para pemikir kritik ideologi melalui konsep hermeneutika kritis. Jika dalam hermeneutika filosofis problem akhirnya adalah bahasa dan permainan bahasa, maka dalam hermeneutika kritis, faktor-faktor ekstra-linguistik ditempatkan sebagai masalah yang harus dipecahkan sehingga hal-hal di luar bahasa seperti kerja dan dominasi yang justru sangat menentukan terbentuknya konsep pemikiran dan perbuatan menjadi teramat penting. Menurut Jurgen Habermas, hermeneutika filosofis versi Gadamer telah mempra-anggap-kan pengetahuan yang bersifat steril, bersih dari jejak kepentingan yang menindas sehingga harus disingkap melalui refleksi kritis untuk membuktikan selubung ideologisnya. Jika bagi Gadamer penafsiran merupakan unproblematic meditation of subjectivites, maka bagi Habermas tradisi itu sendiri harus dikenai analisis kritis, yakni kita perlu mengetahui apa yang tersembunyi dibalik “consensus” dan bagaimana berbagai discontinuities dalam makna dan misunderstanding (kesalahpahaman) dapat dijelaskan. Jika bagi Gadamer bahasa merupakan landasan primer komunikasi dan terutama dasar eksistensi serta pengalaman, maka Habermas justru mengkritik bahasa sebagai medium dominasi dan kekuasaan dalam masyarakat. Banyak aspek dalam hermeneutika kritis memang tidak terkait langsung dengan wilayah dan kegiatan penafsiran. Namun, berbagai kritiknya terhadap 2 metode hermeneutika sebelumnya ternyata memberi kontribusi besar bagi diskursus hermeneutika kontemporer terutama pada kekuatannya untuk menghancurkan ilusi-ilusi penafsiran.

Jadi, hermeneutika kritis lebih layak disebut sebagai hermeneutika kecurigaan karena kepentingannya untuk menyingkap tabir-tabir ideologis di balik teks. Sementara, hermeneutika teoritis dan filosofis, keduanya layak disebut hermeneutika keyakinan karena berorientasi ke depan untuk mengapresiasi teks.

PEREMPUAN DAN KEKERASAN BERBASIS PENAFSIRAN
Kekerasan terhadap perempuan, sebenarnya, bisa saja disebabkan oleh banyak faktor, baik yang bersifat ideologis maupun budaya. Menurut hasil penelitian Rifka Annisa Women Crisis Center sekurang-kurangnya terdapat 3 faktor utama yang memungkinkan munculnya kekerasan terhadap perempuan yakni: (1) budaya patriarkhi yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk superior dan sebaliknya, perempuan sebagai makhluk inferior, (2) pemahaman dan penafsiran yang keliru terhadap ajaran dan teks-teks agama, dan (3) peniruan (modeling) akibat terbiasa menyaksikan pola komunikasi sosial yang bias gender, yang mengandung banyak bentuk kekerasan terhadap perempuan. Jika kita lihat poin nomor dua (2) di atas maka kekerasan terhadap perempuan, salah satunya, disebabkan faktor pemahaman dan penafsiran yang keliru terhadap ajaran dan teks-teks agama itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Asma Barlas bahwa dalam Islam, ajaran dan teks-teks agama termasuk al-Qur’an sebenarnya justru mengajarkan kesetaraan dan tidak ada inferioritas berdasarkan gender. Menurut Barlas, pembacaan misoginistis dalam Islam bukan berasal dari al-Qur’an melainkan dari upaya para penafsirnya. Dengan demikian, kekerasan terhadap perempuan bisa dikatakan sebagai hasil dari penafsiran yang keliru terhadap ajaran dan teks-teks kitab suci, dan bukan merupakan inti dan esensi dari ajaran-ajaran agama.

Bahkan, lebih jauh menurut Masdar F Mas’udi, penafsiran keliru teks-teks kitab suci terkadang justru menjadi faktor yang lebih dominan bagi lahirnya kekerasan terhadap perempuan dibanding 2 faktor lainnya. Hal ini karena, misalnya, dalam konteks Indonesia terjadi proses indoktrinasi secara sistematis melalui dunia pendidikan terutama di pesantren-pesantren klasik dan tradisional yang menggunakan kitab kuning sebagai referensi dan kajian utamanya. Dari hasil penelitiannya tentang” Posisi Perempuan di Antara Lembaran Kitab Kuning” Masdar menemukan beberapa catatan bernuansa diskriminasi terhadap perempuan dan bahkan hanya menjadikan perempuan sebagai obyek belaka yang menghambat perempuan dalam mengemban tanggung jawab publik, termasuk masalah kepemimpinan.

Dari hasil penelitiannya, Masdar menyimpulkan bahwa berbagai bentuk diskriminasi perempuan yang ada dalam kitab kuning (misalnya dalam kitab uqud dil-lijaini dan kitab qurrotul uyun) antara lain; tentang tata kehidupan sosial di mana kaum perempuan sebagai makhluk yang dinilai hanya separo laki-laki: dalam hal aqiqah, dalam hal warisan di mana perempuan menerima separo dari yang diterima laki-laki, ketika perempuan terbunuh juga hanya mendapat diyah separo dari nyawa laki-laki. Dalam hal pernikahan, laki-laki boleh menikah terhadap lebih dari satu istri, sementara perempuan hanya satu suami. Belum lagi dalam persoalan hubungan suami-istri di mana perempuan terkesan hanya sebagai obyek seksual belaka. Selain itu, sudah tidak asing lagi bahwa dalam kitab kuning pada umumnya termuat hal-hal yang menempatkan tanggung jawab mencari nafkah bagi suami dalam keluarganya. Kesadaran seperti ini, dalam istilah (terminology) modern telah memberikan kepada laki-laki (suami) suatu posisi supremasi sebagai borjuis, sementara kaum perempuan (istri) mewakili proletariat.

Selanjutnya, kalaupun terdapat pandangan bahwa perempuan sejajar dengan laki-laki, itu hanya pada kaca mata spiritualitas ketuhanan, kehidupan batin (ukhrawi) yang terdapat pada kitab kuning tafsir. Dan hal itu, menurut Masdar, tidak menunjukkan semangat persamaan (egalitarianisme) yang signifikan. Namun demikian, Masdar sadar bahwa kitab kuning adalah produk budaya pada zamannya, yakni zaman pertengahan yang didominasi oleh budaya Timur Tengah yang secara keseluruhan pada saat itu memang sangat laki-laki centris. Demikianlah penjelasan tentang kekerasan terhadap perempuan yang berbasis penafsiran. Pemahaman yang dihasilkan dari penafsiran yang keliru terhadap teks-teks kitab suci terlibat dalam pembentukan struktur dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang juga memperkuat adanya dikotomi wilayah domestik dan publik sehingga mempersubur terjadinya kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Sementara, gender berkaitan erat dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir serta bertindak sesuai dengan ketentuan sosial dan budaya. Dan, salah satu faktor yang menentukan keyakinan berpikir dan bertindak adalah konsep-konsep keagamaan (teologis) yang diperoleh melalui pemahaman dari penafsiran terhadap ajaran dan teks-teks kitab suci agama.

MENDOBRAK TRADISI KEKERASAN MELALUI REINTERPRETASI
Untuk mendobrak tradisi kekerasan terhadap perempuan khususnya yang berbasis penafsiran, tidak ada jalan lain yang harus dilakukan kecuali melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) secara kritis terhadap teks-teks kitab suci agama dan teks pendukungnya serta hal-hal yang dihasilkan dari teks tersebut seperti produk-produk hukum, norma, moral dan sebagainya.

Lantas, apa saja yang sebenarnya ingin dicapai melalui penafsiran ulang itu? Menurut Haryatmoko, setidaknya ada 3 hal yakni: (1) informasi tentang unsur temporalitas wacana atau sifat kesejarahan dari pemahaman teks suci agama, (2) kritik ideologi dan (3) dekonstruksi atau pembongkaran seluruh proses penafsiran yang kentara sekali nuansa bias gendernya.
Melalui penafsiran ulang diharapkan diperoleh informasi tentang unsur temporalitas wacana atau sifat kesejarahan dari pemahaman teks suci agama.
Ini merupakan bentuk sikap kritis terhadap aspek historis teks-teks suci tersebut. Semua pemahaman bersifat kebahasaan, dalam arti bahwa orang hanya bisa memahami ketika dia mampu merumuskannya dalam bahasa. Oleh karena itu pemahaman bersifat prasangka, di mana ketika orang memahami suatu situasi, ia tidak pernah dalam keadaan kosong tetapi sudah membawa kategori-kategori pra-pemahaman. Tidak ada pemahaman yang murni terhadap sejarah tanpa kaitan dengan masa kini. Artinya, masa lalu juga beroperasi di masa kini. Melalui bahasa dan bertitik tolak dari prasangka tertentu itu, pikiran dapat diaktualisasikan dalam kondisi sejarah atau konteks tertentu. Karenanya, terhadap penafsiran yang kentara sekali nuansa bias gendernya dan berpotensi melahirkan kekerasan terhadap perempuan, kita harus mempertanyakan kembali dimensi kesejarahannya. Nah, melalui hermeneutika kita bisa menjelaskan momen-momen sejarah manakah dari penafsiran teks-teks kitab suci yang menghasilkan bias gender. Kategori lingkup privat dan publik dengan konsekuensi ketidakadilan terhadap perempuan bisa ditafsirkan ulang agar tugas rumah domestik-rumah tangga tidak melulu diidentikkan lagi dengan kaum perempuan.

Selanjutnya, melalui penafsiran ulang kita bisa melakukan kritik ideologi, yakni kritik atas prasangka-prasangka dan ilusi-ilusi yang menjadi bagian dari penafsiran teks-teks suci agama. Prasangka yang dimaksud yakni yang sarat nilai kelaki-lakiannya dan mempertahankan status quo dominasi laki-laki. Sementara, ilusi yang dimaksud yakni ilusi bahwa superioritas nyata laki-laki cukup memberikan pembenaran (legitimasi) atas segala bentuk penafsiran, membuat hukum dan memberlakukannya. Prasangka dan ilusi itulah yang harus diuji melalui kritik ideologi. Selain itu melalui penafsiran ulang kita juga bisa melakukan dekonstruksi untuk membongkar motivasi terselubung serta kepentingan politis, teologis, filosofis kaum laki-laki dalam proses penafsiran teks-teks suci agama.

Untuk melakukan ketiga hal di atas, harus dipertimbangkan juga bahwa terdapat beberapa hal yang membuat teks memiliki makna yang berbeda ketika ditafsirkan karena setiap penafsir dilingkupi latar belakang kepentingan sosial-politik yang berbeda-beda. Dalam hal ini kita dapat mengungkapkan kepentingan tersembunyi atau sengaja disembunyikan itu dengan merujuk pada pendapat tiga “Guru Hermeneutika Kecurigaan” yang sangat popular dalam hermeneutika.

Pertama, situasi psikologis sebagaimana dikemukakan oleh Sigmund Freud. Menurut Freud, kekuatan yang berpengaruh secara dominan dalam menafsirkan teks adalah kondisi ketidaksadaran serta ego si penafsir. Dalam hal ini psikologi Freud memang berpusat pada egoisme laki-laki, meski Freud tetap memiliki jasa besar dalam penafsiran teks karena kemampuannya menyajikan sisi gender yang sebelumnya jarang dipersoalkan dalam perdebatan bahasa. Freud juga memberi umpan pencerahan dalam pembongkaran bahasa yang serba diwarnai kekuatan phallogocentrum, yakni bahwa pusat logos kebahasaan sekaligus kebenaran terletak pada kekuasaan laki-laki yang disimbolkan melalui phallus (penis) yang dimilikinya.

Kedua, situasi ekonomi-politis sebagaimana dikemukakan Karl Marx. Menurut Marx, banyak penafsir yang dalam menafsirkan teks sangat dipengaruhi oleh kekuatan dominan yang menempatkannya pada kelas sosial tertentu dalam masyarakat. Materialisme Marx menunjukkan bahwa kesadaran sosial seorang penafsir teks sangat ditentukan oleh keadaan ekonomi dan politiknya, dan bukan sebaliknya. Di sini terlihat bahwa Marx melakukan pembalikan secara radikal, yakni menggeser idealisme (kesadaran seakan menentukan kondisi sosiologis) menjadi materialisme (persoalan ekonomi-politiklah yang justru paling dominan dalam kesadaran berbahasa). Jadi, tidak aneh jika si penafsir yang mendukung struktur kekuasaan yang sedang berlaku, hasil tafsirannya pasti berbeda dengan penafsir lain yang menentang struktur kekuasaan. Sejalan dengan hal itu, penafsir yang mendukung produk hukum yang membela kaum perempuan, tentu bertentangan dengan produk penafsiran yang digulirkan oleh penafsir yang ingin mempertahankan kekuasaan dan dominasi laki-laki.

Ketiga, dorongan atau kehendak berkuasa (will to power) sebagaimana dikemukakan Friedrich Nietzsche. Menurut Nietzsche, ketika seseorang menafsirkan teks, terdapat kehendak berkuasa atas klaim kebenaran yang harus diterima pihak lain. Sampai pada titik ini Nietzsche memberi kesimpulan sementara bahwa klaim serta kehendak terhadap kebenaran, tidak lebih merupakan wujud dorongan/kehendak berkuasa. Gagasan Nietzsche kemudian dielaborasi Michel Foucault yang melihat hubungan antara keinginan mengetahui, yang secara otomatis juga adalah kehendak untuk menguasai. Semakin seseorang mampu mengklaim mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik teks, sesungguhnya serentak dengan itu juga memiliki kemampuan melakukan penguasaan terhadap teks itu sendiri. Puncaknya, Foucault menyatakan bahwa relasi antara kekuasaan dan pengetahuan tidaklah dapat dipisahkan sama sekali. Kekuasaan hanya niscaya dapat melangsungkan kehidupannya karena bersandar pada pengetahuan tertentu. Kekuasaan yang hegemonik-pun akan dengan sendirinya dapat digunakan untuk melegitimasi kebenaran dengan mengerahkan segenap pengetahuan yang dimilikinya.

WACANA HERMENEUTIKA PEMBEBASAN KAUM PEREMPUAN
Solusi yang bisa diberikan dalam tulisan ini, terutama menyangkut masalah tindak kekerasan terhadap perempuan berbasis penafsiran adalah bahwa kita harus menggagas suatu bentuk hermeneutika pembebasan kaum perempuan. Hermeneutika ini sekaligus merupakan bentuk pendekatan kritis terhadap problem penafsiran yang cenderung dominatif dan mono-interpretatif. Gagasan hermeneutika pembebasan sebagai kritik pendekatan konvensional, menandakan bahwa penafsiran atas teks-teks suci agama yang selama ini dilakukan belum memberikan spirit pembebasan dan perubahan positif di kalangan umat beragama. Oleh karena itu, hermeneutika pembebasan merupakan wacana bagi tindakan solutif terjadinya dialektika antara teks dan konteks sebagai lingkaran hermeneutika teks-teks suci agama. Hermeneutika ini juga berupaya mengaitkan penafsiran teks-teks suci agama agar lebih dekat dengan problem kemanusiaan seperti kemiskinan, kebodohan, penindasan dan ketidakadilan.

Terhadap produk penafsiran yang kentara bias gendernya, yang sering dijadikan referensi oleh pihak-pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan berbasis penafsiran, hermeneutika pembebasan mengupayakan 3 hal. Pertama, membongkar mitos tentang ajaran-ajaran yang seolah-olah telah terberi (taken for granted). Ini diperlukan guna menyadarkan umat beragama bahwa kemunculan ajaran-ajaran agama tidak berada dalam ruang hampa, melainkan penuh dengan kepentingan, baik kepentingan status quo maupun pemberontakan. Dengan begitu diharapkan tidak ada fanatisme sempit yang mencurigai dialog terhadap ajaran-ajaran agama dan persoalan perempuan sebagai pendangkalan aqidah (agama). Kedua, Mengeksplorasi aspek feminisme keTuhanan. Hal ini tidak dimaksudkan untuk membenturkan sifat feminin Tuhan dengan sifat maskulin-Nya melainkan lebih sebagai pengungkapan bahwa sifat feminin tidak identik dengan kelemahan sebagaimana dianggap oleh pendukung budaya patriarkhi. Ketiga, menjadikan ajaran-ajaran agama tidak sebatas keimanan, melainkan meneruskannya pada tingkat aksi. Ukuran kesalehan agama, dengan demikian, tidak diukur dari (hanya) menjalankan ritual tapi juga pada kesalehan sosial seperti perjuangan melawan kebodohan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, diskriminasi kaum perempuan dan sebagainya.

Ajaran agama apapun, termasuk Islam, memang harus senantiasa didialogkan dengan realitas sosialnya dan salah satunya adalah masalah diskriminasi perempuan. Hal ini karena beberapa ajaran agama, yang sejatinya memposisikan perempuan sebagai mitra laki-laki, justru didominasi kepentingan laki-laki. Dalam ajaran Islam, misalnya, banyak tafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan Haidst yang tidak memihak kepentingan kaum perempuan. Sebagai contoh, banyak kritik yang ditujukkan terhadap penafsiran bahwa yang menyatakan bahwa Islam tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin, dalam Islam “harga” perempuan cuman separo “harga” laki-laki, dalam Islam seorang istri tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri, karena kalau dia berani menolak permintaan (seks) suaminya maka ia akan dilaknat malaikat sampai pagi dan Islam membolehkan seorang suami memukul istrinya dan sebagainya.
Penafsiran seperti di atas tentu merupakan sebuah ironi, sebab salah satu misi turunnya al-Qur’an adalah untuk pembebasan manusia termasuk kaum perempuan yang pada saat itu mengalami diskriminasi dan penindasan.

Oleh karena itu dalam hermeneutika pembebasan ada 2 tahap yang harus dilakukan. Pertama, dekonstruksi produk-produk penafsiran yang bernuansa bias gender. Ini bisa dimulai dengan mencari jejak-jejak patriarkhi dalam tafsir yang merupakan sentral pemahaman relasi laki-laki dan perempuan dalam teks-teks suci agama. Kedua, setelah dekonstruksi, selanjutnya diperlukan rekonstruksi. Dekonstruksi tanpa rekonstruksi adalah kematian. Kesenjangan antara realitas dengan idealitas tentu saja harus dihilangkan melalui kerja-kerja intelektual praksis yang kritis terhadap teks-teks suci agama yang dijadikan pedoman. Kata kuncinya adalah penafsiran ulang secara kritis terhadap teks-teks suci seperti al-Qur’an, Hadist, Bible, Taurat dan sebagainya dengan menggunakan perspektif keadilan gender. Proses penafsiran ulang inipun harus memperhatikan konteks sosio-historis yang melatar belakanginya terutama untuk menemukan kembali spirit dan pesan keagamaan perennial; yakni bahwa agama (termasuk Islam) memberi perintah kepada manusia tentang pembebasan dan keadilan.

Penafsiran ulang secara kritis terhadap teks-teks suci agama harus diarahkan pada spirit dan pesan baik pembebasan maupun keadilan, termasuk kesejahteraan manusia. Misalnya, mengcounter pernyataan bahwa Islam melarang perempuan menjadi pemimpin. Orang-orang yang menganggap bahwa Islam melarang perempuan menjadi pemimpin biasanya mengklaim hal tersebut sesuai dengan penafsiran al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4): ayat 34. Ayat tersebut berbunyi (al-rijaalu qawaamuuna ‘ala al-nisaa’iI bima fadhdhlallahu ba’dhahum ‘ala ba’dh wa bimaa… Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagiaan yang lain (wanita).

Penafsiran literal ayat tersebut sering dijadikan referensi oleh orang-orang yang melakukan kekerasan simbolik terhadap kaum perempuan berupa larangan perempuan menjadi pemimpin. Kita tentu tidak boleh dengan serta merta mengklaim penafsiran teks-teks suci hanya secara literal (sebagai mana bunyi ayat tersebut) karena setiap teks dalam ilmu kebahasaan (linguistics) memiliki 2-hal yang harus dicermati yakni; bunyi teks dan spirit teks. Melalui hermeneutika pembebasan, ayat-ayat harus ditafsirkan tidak hanya secara literal, melainkan secara menyeluruh dengan melihat konteks dan sejarah turunnya ayat tersebut (asbab al-nuzul) sehingga kita mendapatkan spirit teks ketika diaplikasikan dalam kontekstualisasinya di masa sekarang.

Menurut Nasaruddin Umar, sumber masalah dalam ayat di atas sesungguhnya pada kata qawwamuna yang diartikan pemimpin. Dan kekeliruannya adalah karena pengertian pemimpin dalam rangkaian terjemahan ayat di atas hanya ditafsirkan dalam konotasi kepemimpinan secara struktural. Padahal, kepemimpinan juga bisa ditafsirkan dalam konotasi fungsional dan memang itulah dimensi-dimensi dalam kepemimpinan. Selain itu, secara harfiah kata qawwamuna bisa juga diartikan sebagai pendamping, pemelihara dan penanggungjawab. Hal ini sesuai dengan terjemahan Yusuf Ali dalam bahasa Inggris terhadap ayat tersebut yakni: man are the protectors and maintainers of women….. (laki-laki adalah pelindung dan pemelihara kaum perempuan….). Ayat tersebut juga tidak serta merta dapat digunakan untuk melegitimasi penolakan terhadap kepemimpinan perempuan dalam Islam. Hal ini karena kalau kita melihat sejarah turunnya ayat tersebut, ayat itu diturunkan untuk menjelaskan kasus keluarga yang dilaporkan kepada Nabi SAW. Belum lagi, kelanjutan ayat tersebut justru memberikan penegasan bahwa yang berhak menjadi pemimpin adalah orang yang berpotensi dan memiliki kelebihan dibanding yang lain, tepatnya pada kalimat selanjutnya yakni bima fadhdhalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dh (oleh karena Allah telah melebihkan sebahagiaan mereka atas sebahagiaan yang lain). Dengan demikian, person/individu yang dimaksud ayat tersebut bisa terdiri dari laki-laki ataupun perempuan, asalkan ia memiliki kecakapan dan potensi sebagai pemimpin. Melalui penafsiran ulang secara kritis terhadap ayat di atas dengan menggunakan metode hermeneutika yang tidak hanya memperhatikan aspek teks tapi juga konteks dan sejarah turunnya teks serta spirit dan pesan teks dalam kontekstualisasinya di masa sekarang, kaum perempuan tentu bisa terbebas dari kekerasan simbolik berupa larangan menjadi pemimpin. Implikasi pembebasan lainnya adalah bahwa kaum perempuan dapat berlomba-lomba berprestasi (fashtabiqul khairat) dengan laki-laki, termasuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya, memperkembangkan pengetahuan, wawasan dan keterampilannya sehingga menjadi pribadi yang berguna bagi dirinya sendiri, masyarakatnya, nusa, bangsa dan agamanya.

Contoh selanjutnya adalah mengenai mengenai penafsiran ulang secara kritis terhadap anggapan bahwa harga kaum perempuan hanya separo kaum laki-laki. Ini biasanya dirujukkan kepada penafsiran al-Qur’an Surat An-nisaa (4) ayat 11 mengenai jatah pembagian warisan yang berbunyi: yuushiikumullahu fii aulaadikum lil-dzakkari mitslu khotthil al-unsyayaiin…(Allah mensyariatkan bagimu (pembagian pusaka untuk anak-anakmu). Yaitu; bahagian seorang anak lelaki, sama dengan bahagiaan dua orang anak perempuan….). Ayat ini kalau ditafsirkan secara literal tentu akan mendudukan posisi inferiroritas perempuan atas laki-laki di mana harga perempuan dianggap separo harga laki-laki.

Melalui penafsiran ulang secara kritis menggunakan metode hermeneutika, kita tentu harus melihat konteks dan sejarah turunnya ayat serta spirit dan pesan yang terkandung dari makna ayat tersebut bila dikontekstualisasikan pada kondisi sekarang. Bila kita lihat sejarah turunnya ayat tersebut, dengan membandingkan realitas sosial pra-Islam, ajaran yang terkandung dalam ayat tersebut merupakan upaya perbaikan secara radikal (radical improvement) dalam mengangkat derajat dan martabat kaum perempuan. Jangankan untuk mendapat jatah waris 1/2 kaum laki-laki, diri perempuan sendiri pada waktu itu (pra-Islam) merupakan benda yang bisa diwarisi, bahkan oleh anak kandungnya sendiri. Dengan memberikan hak waris bagi kaum perempuan, spirit dan pesan yang bisa ditangkap dari ayat tersebut adalah bahwa Islam telah memberikan hak yang setara antara kaum laki-laki dan perempuan dalam hal sama-sama sebagai subyek waris. Lebih lanjut, kalaupun kaum laki-laki mendapat jatah lebih banyak dibandingkan kaum perempuan, maka ajaran yang berlaku dalam Islam adalah kaum lelaki yang wajib menanggung penuh kehidupan keluarga. Karena itu, meskipun laki-laki mendapatkan jatah lebih banyak namun pada akhirnya harta itu harus dia distribusikan kepada keluarganya. Berbeda dengan perempuan yang mendapat jatah warisan lebih kecil, namun harta tersebut menjadi miliknya secara utuh tanpa harus dibagikan lagi kepada pihak lain.

Contoh lainnya misal penafsiran ulang secara kritis terhadap al-Qur’an Surat An-nisa (4) ayat 1 yang berbunyi: Yaa ayyuhannaasuttaquu robbukumulladzii kholaqokum min nafs wahidah wakholaqo minha zaujaha wabatstsa minhuma rijaalaan katsiiroon wa nisaa’an (Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, yang daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak).

Dengan menggunakan metode hermeneutika kita mesti melihat teks, konteks dan kontekstualisasi ayat tersebut. Misalnya, kita mesti meneliti secara detail, kata nafs wahidah yang dalam terjemah al-Qur’an DEPAG diartikan sebagai “diri yang satu”. Siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan min nafs wahidah (dari diri yang satu) tersebut? Siapa yang ditunjuk pada dhamir (kata ganti) minha (daripadanya)? Dan apa yang dimaksud zaujaha (pasangan) dalam ayat tersebut? Dalam kitab-kitab tafsir mu’tabar (standar) dari kalangan jumhur (mayoritas) seperti tafsir al-qurthubi (jilid I hal.484), tafsir al-mizan (jilid IV hal.135), tafsir Ibn Katsir (jilid I hal 448), tafsir ruh al-bayan (jilid II hal.159), tafsir al-kasysyaf (jilid I hal.495), tafsir as-sa’ud, tafsir al-bayan dan tafsir al-maraghi disebutkan bahwa lafazh min nafsiw-wahidah ditafsirkan sebagai Nabi Adam AS. Lafazh minha ditafsirkan bagian dari tubuh Nabi Adam. Sedangkan kata zaujaha ditafsirkan istri Adam yang tidak lain adalah Hawa. Mungkin, yang menjadi pusat masalah pada tafsiran ini adalah pada lafazh minhaa yang diartikan dari tubuh Nabi Adam. Dengan kata lain dhamir (kata ganti) haa dalam lafazh tersebut kembali kepada lafazh nafsiw-wahidah. Tafsiran yang dikemukakan para ulama tersebut tidak menutup rapat ruang diskusi. Sebab, ternyata Ar-Razi telah mengutip Abu Muslim Al-Isfahani yang mengatakan bahwa dhamir (kata ganti) minhaa bukan berarti dimaknai dari tubuh Nabi Adam, melainkan diartikan dari jenis Nabi Adam. Al-Isfahani berani berpendapat bahwa lafazh minhaa –yang kembali kepada lafazh nafsiw-wahidah—tidak selalu bermakna dari tubuh Adam, karena memang dalam kasus ayat-ayat yang lain, kata nafs tidak selalu merujuk pada Adam. Kata nafs terkadang juga bermakna jiwa. Dalam al-Qur’an Surat Asy-Syura ayat 11, misalnya, lafazh nafs juga diartikan sebagai asal-usul binatang. Kalau kata nafs selalu diartikan Adam, berarti beliau juga menjadi asal-usul kejadian binatang dong? Karena itu, tidak salah kalau lafazh minhaa oleh al-Isfahani diartikan dari jenis Nabi Adam. Kesimpulannya adalah bahwa bisa dipahami kalau asal-usul kejadian Hawa bukan dari tubuh Adam, melainkan dari unsur genetika yang satu, yakni sumber kejadian seluruh makhluk hidup.

Contoh lain misalnya penafsiran ulang secara kritis terhadap hadist Shahih Bukhari no.hadist 3084: ……. ‘an abii Hurairota RA qoola qoola rosuulullohi SAW istaushuu bi an-nisaa’I fa-inna al-mar’ata khuliqot min dhila’in wa in a’waja syai’in fii al-dhola’I a’laahu fa-in dzahabta tuqiimuhu katsartahu wa in taroktahu lam yazal a’waja fa-astaushu bi an-nisaa’I (Dari Abu Huraroh RA, dia berkata, Rasululloh SAW bersabda:” Nasehatilah kaum perempuan! Karena sesungguhnya perempuan tercipta dari tulang rusuk. Sedangkan bagian yang bengkok pada tulang rusuk adalah bagian atasnya (mulutnya). Jika kamu meluruskannya maka bisa mematahkannya. Namun jika kamu biarkan saja dia tetap saja bengkok. Oleh karena itu, nasehatilah kaum wanita!). Melalui penafsiran ulang secara kritis terhadap hadits diatas, tidak benar apabila ada yang mengartikan hadist tersebut dengan penjelasan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, sebab secara harfiyyah (dari segi huruf) tidak tercantum nama Hawa maupun Adam di dalam matan hadits. Apalagi kalau hadits itu digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an Surat an-Nisa (4) ayat 1. Menurut Quraisy Shihab , lafazh dhil’ (tulang rusuk) dalam matan hadits tersebut seharusnya dipahami dalam pengertian metaforis. Dengan kata lain, hadits tersebut memperingatkan supaya kaum lelaki memperlakukan kaum perempuan dengan bijaksana. Sebab, kecenderungan dan karakter antara perempuan dan laki-laki jelas-jelas berbeda. Jika hal ini tidak disadari benar oleh kaum lelaki; maka bisa menyebabkan mereka berlaku tidak wajar kepada lawan jenisnya. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter kaum wanita. Kalaupun berhasil maka akan menimbulkan efek yang fatal sebagaimana tulang rusuk akan patah jika dipaksa untuk diluruskan.

Semua contoh diatas hanyalah sedikit ilustrasi bahwa kekerasan terhadap perempuan, terutama yang berbasis penafsiran, bisa dicari solusi alternatifnya melalui penafsiran ulang secara kritis dengan bersandar pada metode hermeneutika yang berorientasi pembebasan. Dalam wacana pembebasan ini, setiap penafsiran ulang harus dilakukan secara kritis dengan melihat tiga hal pokok yakni teks, konteks dan kontekstualisasinya. Meskipun demikian yang lebih penting lagi adalah memahami proses penafsiran dengan menggali spirit dan pesan pembebasan, keadilan serta kesejahteraan yang terkandung dalam teks-teks suci agama.

PENUTUP
Demikianlah penjelasan tentang wacana hermeneutika pembebasan kaum perempuan dari tindak kekerasan berbasis penafsiran. Hermeneutika pembebasan berupaya mengaitkan penafsiran teks-teks keagamaan dengan problem kemanusiaan seperti kemiskinan, penindasan dan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender.

Oleh karena itu, hermeneutika pembebasan merupakan salah satu jawaban agama terhadap kebutuhan masyarakat beragama dewasa ini yang terkadang masih terkungkung oleh dogmatisme pemahaman keagamaan mereka sebagai hasil dari penafsiran literal teks-teks suci agama. Hermeneutika ini juga berupaya menarik gagasan-gagasan sentral teks-teks suci seperti al-Qur’an, Hadist, Injil, Taurat dan sebagainya kepada solusi problem kemanusiaan yang bersifat antropomorfistik-humanistik. Dalam konteks ini problem berupa beberapa ayat-ayat teks-teks suci agama yang menyangkut relasi laki-laki dan perempuan, yang memiliki tendensi dan atau biasanya ditafsirkan secara literal dan menghasilkan produk penafsiran yang bias gender dan berpotensi melahirkan tindak kekerasan terhadap perempuan; harus ditafsirkan ulang secara kritis dan juga dilakukan kritik terhadap metodologi penafsiran yang sebelumnya dilakukan. Hermeneutika pembebasan, dengan demikian, bisa menjadi satu solusi alternatif terhadap problem-problem mendasar tersebut. Tujuan akhirnya, fungsi agama sebagai rahmatan lil-alamin (rahmat bagi seluruh alam), termasuk bagi kaum perempuan dan kaum lak-laki secara egalitarian, dapat kita realisasikan, Amin.

END NOTES
1. Annie Leclerc adalah seorang feminis asal Perancis yang juga penulis buku tentang wanita terkenal yang berjudul “Parole De Femme”, terjemahan Indonesia berjudul Kalau Perempuan Angkat Bicara. Lihat Annie Leclerc, 2000, Kalau Perempuan Angkat Bicara (terj. Rahayu S. Hidayat), Yogyakarta: Kanisius.
2. Lihat Haryatmoko, 2002, Dominasi Laki-Laki Melalui Wacana, dalam situs: www. Sekitarkita.com, 2002, hal.1
3. Pierre Bourdieu, 1998, La Domination (Edisi terjemahan), Paris: Seuil, hal.7, lihat www.google.com
4. M Hilmi Faiq, 2004, Hermeneutika Sebagai Tafsir Alternatif. Lihat situs: www.waspadaonline.com
5. ibid
6. Lebih jauh tentang hermeneutika lihat Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Penerbit Gramedia, hal.283 atau lihat E. Sumaryono, 1999, Hermeneutika (Sebuah Metode Filsafat), Yogjakarta: Kanisius.
7. Mengenai penjelasan tentang politk hermeneutika ini lebih jauh lihat Triyono Lukmantoro, 2005, Perempuan dalam Politik Hermeneutika, dalam www.kompas.com edisi 28 februari 2005.
8. Untuk penjelasan lebih lengkap tentang 3 paradigma hermeneutika kontemporer yakni hermeneutika teoritis, filosofis dan kritis, lihat Ilham B Saenong, 2002, Hermeneutika Pembebasan (Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi), Jakarta: Penerbit Teraju, hal.34-45
9.
Lihat Josef Bleicher, 1980, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, London: Routledge and Keegan Paul, hal.15
10. Ibid, hal.15
11. Untuk penjelasan lebih lengkap tentang hermeneutika filosofis ini lihat Fransisco Budi Hardiman, 1991, Hermeneutika: Apa itu? Dalam majalah Basis, Edisi Januari 1991, Yogyakarta: Kanisius, hal.9-10
12. Janet Wolf, 1991, Hermeneutics and Sociology, dalam H. Etzkowits dan Ronald Glassman (eds), 1991, The Rennaissance of Sociological Theory, Ithaca: Peacock Publishers Inc, hal. 189
13. Josef Biecher, 1980, op.cit, hal.3
14. Ellman Crasnow, 1987, Hermeneutics, dalam Roger (ed), 1987, A Dictionary of Modern Critical Terms, New York: Routledge and Paul Keegan, hal.111
15. Rifka Annisa Women Crisis Center adalah sekumpulan perempuan dan laki-laki yang melakukan pendampingan dan advokasi terhadap perempuan korban kekerasan domestik, pemerkosaan dan pelecahan seksual, kekerasan dalam pacaran dan kekerasan dalam keluarga, serta melakukan advokasi dan pendampingan kekerasan berbasis gender dengan menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM), berperspektif korban dan keterlibatan laki-laki. Rifka Annisa berkantor pusat di Yogyakarta.
16. Uraian lebih lengkap lihat Triningtyasasih (eds), 1997, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Yogyakarta: Rifka Annisa, hal.5
17. Asma Barlas adalah seorang feminis berkebangsaan Pakistan yang sudah tinggal di Amerika Serikat sejak tahun 1983. Uraian lebih lengkap tentang pemikirannya lihat Asma Barlas, 2002, Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretation of the Qur’an, Austin: University of Texas Press atau buku terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Cara Qur’an Membebaskan Perempuan (Penerbit Serambi, 2005).
18. Kitab kuning adalah buku-buku/kitab-kitab klasik yang berisikan tafsiran dan penjabaran ajaran Islam yang ditulis oleh para ulama dengan pola pikir dan format pra-modern serta secara meluas dipakai dikalangan kyai/nyai tradisional dengan basis pesantren dalam menyampaikan agama Islam.
19. Uraian lebih lanjut tentang hasil penelitian Masdar ini bisa lihat pada Masdar Farid Mas’udi, 1993, Posisi Perempuan di Antara Lembaran Kitab Kuning, dalam Lies Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman, 1993, Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: INIS.
20. Masdar Farid Mas’udi, 1993, op.cit, hal.155-163.
21. Cermati misalnya beberapa tafsir klasik yang berkaitan dengan al-Qur’an Surat An-Nisaa (4): 34
22. Jane Allenburger, 1996, Sociology of Women (terj. Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana), Jakarta: PT Rineka Cipta, hal.8
23. Masdar, 1993, op.cit, hal.162-163
24. Untuk uraian yang lebih lengkap, lihat Nur Said, 2003, Islam dan Teologi kemanusiaan: Kontekstualisasi Teologi Islam dalam Menghadapi Isu-Isu HAM di Indonesia, dalam Jurnal Tanwir, Keberpihakan Islam Terhadap kemanusiaan, Edisi Ke-3, Vol.1, No 3 September 2003, Jakarta: PSAP Muhammadiyah, hal.41-47
25. Haryatmoko, 2005, op.cit.hal.5
26. Lihat Triyono, 2005.op.cit, hal.2
27. Lihat Hilaly Basya, 2003, Refleksi Teologi Islam Mengenai Kesetaraan Gender, dalam rubrik Swara harian KOMPAS, edisi 10 November 2003, hal.2
28. Lihat Nasaruddin Umar, 2002, Agama dan Kekerasan Terhadap Perempuan, makalah yang disampaikan pada “Seminar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), diselenggarakan DPR RI di Jakarta 4 Juli 2002, hal.13
29. Lihat Nasaruddin Umar, 2001, Argumen Kesetaraan Gender (Perspektif al-Qur’an), Jakarta: Paramadina, hal.168
30. Lihat Maria Ulfah Anshor dkk, 2003, Modul Analisis Gender, Jakarta: PP Fatayat NU, hal. 118-119.
31. Nasaruddin Umar, 2001, op.cit, hal.236-242.
32. Quraisy Shihab, 1999, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, hal.271

REFERENSI
Allenburger, Jane, 1996, Sociology of Women (Terj. Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana), Jakarta: PT Rineka Cipta.

Anshor, Maria Ulfah dkk, 2003, Modul Analisis Gender, Jakarta: PP Fatayat NU.

Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Penerbit Gramedia.

Barlas, Asma, 2002, Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretation of the Qur’an, Austin: University of Texas Press.

Basya, Hilaly, 2003, Refleksi Teologi Islam Mengenai Kesetaraan Gender, Jakarta: Harian KOMPAS, edisi 10 November 2003.

Bleicher, Josef, 1980, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, London: Routledge and Keegan Paul.

Bourdieu, Pierre, 1998, La Domination (Edisi terjemahan), Paris: Seuil.

Budi-Hardiman, Fransisco, 1991, Hermeneutika: Apa itu?
Dalam majalah Basis, Edisi Januari 1991, Yogyakarta: Kanisius.

Crasnow, Ellman, 1987, Hermeneutics, dalam Roger (ed), 1987, A Dictionary of Modern Critical Terms, New York: Routledge and Paul Keegan.

Faiq, M. Hilmi, 2004, Hermeneutika Sebagai Tafsir Alternatif, dalam situs: www.waspadaonline.com.

Farid-Mas’udi, Masdar, 1993, Posisi Perempuan di Antara Lembaran Kitab Kuning, dalam Lies Marcoes Natsir dan Johan Hendrik Meuleman, 1993, Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: INIS.

Gadamer, Hans-George, 1977, Philosophical Hermeneutics (terj. David E Linge), California: University of California.

Haryatmoko, 2002, Diminasi Laki-Laki Melalui Wacana, dalam situs: www. Sekitarkita.com.

Leclerc, Annie, 2000, Kalau Perempuan Angkat Bicara (Terj. Rahayu S. Hidayat), Yogyakarta: Kanisius.

Lukmantoro, Triyono, 2005, Perempuan dalam Politik Hermeneutika, dalam www.kompas.com edisi 28 februari 2005.

Nur said, 2003, Islam dan Teologi kemanusiaan: Kontekstualisasi Teologi Islam dalam Menghadapi Isu-Isu HAM di Indonesia, dalam Jurnal Tanwir, Keberpihakan Islam Terhadap kemanusiaan, Edisi Ke-3, Vol.1, No 3 September 2003, Jakarta: PSAP Muhammadiyah.

Saenong, Ilham B, 2002, Hermeneutika Pembebasan (Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi), Jakarta: Penerbit Teraju.

Shihab, Quraisy, 1999, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Sumaryono, E, 1999, Hermeneutika (Sebuah Metode Filsafat), Jogjakarta: Kanisius.

Trinigtyasasih (eds), 1997, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Yogyakarta: Rifka Annisa Women Crisis Center.

Umar, Nasaruddin, 2001, Argumen Kesetaraan Gender (Perspektif al-Qur’an), Jakarta: Paramadina.

--------------------------, 2002, Agama dan Kekerasan Terhadap Perempuan, makalah yang disampaikan pada “Seminar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), diselenggarakan DPR RI di Jakarta 4 Juli 2002.

Wolf, Janet, 1991, Hermeneutics and Sociology, dalam H. Etzkowits dan Ronald Glassman (eds), 1991, The Rennaissance of Sociological Theory, Ithaca: Peacock Publishers Inc.

Tidak ada komentar: