Rabu, 05 September 2007

menguak cahaya dari langit (mukadimah tafsir irfani)

AL-Fatihah menurut arkoun seharusnya diletakan di surah ke 46. karena tiba-tiba ada nama Allah. padahal belum dikenal?

Ia misalnya, menapaktilasi "teknik" penyusunan surat dalam alquran, dan membetuk susunan baru, yang menurutnya, lebih bersih dan sinkronis. Surah pertama, Al-Fatihah, menurut dia, seharusnya berada dalam urutan ke-46, bukan surat pembuka pertama.

"Bagaimana mungkin kita mengatakan "Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi penyayang," sebagai awalan, sementara kita belum diberi tahu siapa Allah itu, dan mengapa ia menjadi Tuhan semesta alam?" tanya Arkoun, sebagaimana dikutip St. Sunardi dalam makalah "Membaca Quran bersama Arkoun".

Bagi Arkoun, ayat pertama itu memerlukan "ayat pendahulu" supaya konteksnya bisa dimengerti. Arkoun menyadari bahwa bagi manusia sekarang kata Allah sudah diterima pengertiannya secara makruf, par exellence. Tapi ketika surah itu turun di abad ke VII, harus ada rujukan yang jelas untuk memahami kata itu, juga kata arrahman. Dan kata itu baru bisa dimengerti jika diletakkan sebagai surah ke-46, yang 54 surat sebelumnya telah menerangkan dengan detil.

Ini memang telaah yang luar biasa, dan tentu, untuk sebagian ulama yang memandang alquran sebagai korpus yang tak tersentuh, kajian semacam ini dianggap tak pernah ada.



karena itu juga cahaya-cahaya ilahi memerlukan pengantar yang mudah, tapi tidak mengurangi bobot ilmihanya


Menguak Cahaya Dari Langit

‘ILM MUNÂSABAH :

Menuju Pemahaman Holistik al-Qur’an

Oleh : Anjar Nugroho

A. Pendahuluan

Al-Qur’an adalah kalam Allah (verbum dei)[1] yang sekaligus merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad SAW dalam bahasa Arab, yang sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.

Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami.[2] Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum al-Qur’an. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia al-Qur’an dengan sempurna.

Ulum al-Qur’an sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab Ulum al-Qur’an yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, karya Badr al-Din al-Zarkasyi (w.794 H) dan al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H).

‘Ilm Munâsabah[3] (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode tafsir Ibn Katsir[4] ; al-Qur’an yufassirû ba’dhuhu ba’dhan, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami al-Qur’an harus utuh, jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran yang atomistik (sepotong-sepotong).

B. Pengertian

Menurut Imam al-Zarkasyi[5] kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”

Manna’ al-Qattan[6] dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat

Munâsabah antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait.[7] Sehingga ‘ilm munâsabah dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan tersebut yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain di satu pihak, dan antara satu ayat dengan ayat yang laijn di pihak yang lain. Oleh karena itu, pengungkapan hubungan –hubungan itu harus mempunyai landasan pijak teoritik dan insight (wawasan) yang dalam dan luas mengenai teks.

C. Postulat dan Alas Teoritik

Jika ilmu tentang asbab al-nuzul mengaikan satu ayat atau sejumlah ayat dengan konteks historisnya, maka ‘ilm munâsabah melampui kronologi historis dalam bagian-bagian teks untuk mencari sisi kaitan antar ayat dan surat menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan “urutan pembacaan” sebagai lawan dari “urutan turunnya ayat”.[8]

Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surat merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat dalam mushaf, apakah itu taufiqi atau tauqifi (pengurutannya berdasarkan ijtihad penyusun mushaf).[9]

Nasr Hamid Abu Zaid, wakil dari ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam mushaf sebagai tauqifi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh mahfudz. Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “pembacaan” merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penyusunan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan “persesuaian” antar ayat dalam satu surat, dan antar surat yang berbeda, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I’jaz.[10]

Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam al-Qur’an mengesankan al-Qur’an memberuikan informasi yang tidak sitematis dan melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan pembacaan secara utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah disinggung oleh Abu Zaid, realitas teks itu menujukkan ‘stalistika’ (retorika bahasa) yang merupakan bagian dari I’jaz al-Qur’an aspek kesusasteraan dan gaya bahasa. Maka dalam konteks pembacaan secara holistik pesan spiritual al-Qur’an, salah satu instrumen teoritiknya adalah dengan ‘ilm munâsabah.

Keseluruhan teks dalam al-Qur’an, sebagaimana juga telah disinggung di muka, merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks al-Qur’an menghasilkan weltanschauung (pandangan dunia) yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan (educate). Akan tetapi Fazlur Rahman[11] menengarai adanya kesalahan umum di kalangan umat Islam dalam memahami pokok-pokok keterpaduan al-Qur’an, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan “atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada penetapan hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.

Fazlur Rahman nampaknya dipengaruhi oleh al-Syatubi (w. 1388) seorang yuris Maliki yang terkenal, dalam bukunya al-muwafiqat, tentang betapa mendesak dan amsuk akalnya untuk memahami al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif.[12] Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam al-Qur’an adalah “prinsip-prinsip umumnya” (ushul al-kulliyah) bukan bagian-bagiannya secara ad hoc. Bagian-bagian ad hoc al-Qur’an adalah respon spontanitasnya atas realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai problem solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu harus direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu dengan yang lain, lalu diambil inti syar’inya (hikmah at-tasyri’) sebagai pedoman normatif (idea moral), dan idea moral al-Qur’an kemudian dikontektualisasikan untuk menjawab problem-problem kekinian.

Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap al-Qur’an tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para mufassir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik. ‘Ilm munâsabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qira’ah al-muashirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan” antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filologis dalam ‘ilm munâsabah.

D. Bentuk-Bentuk munâsabah

a. Munâsabah antarsurat

Munâsabah antarsurat tidak lepas dari pandangan holistik al-Qur’an yang menyatakan al-Qur’an sebagai “satu kesatuan” yang “bagian-bagian strukturnya terkait secara integral”. Pembahasan tentang munâsabah antarsurat dimulai dengan memposisikan surat al-Fatihah sebagai Ummu al-Kitab (induk al-Qur’an), sehingga penempatan surat tersebut sebagai surat pembuka (al-Fâtihah) adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi al-Qur’an. Penerapan munâsabah antarsurat bagi surat al-Fâtihah dengan surat sesudahnya atau bahkan keseluruhan surat dalam al-Qur’an menjadi kajian paling awal dalam pembahasan tentang masalah ini.

Surat al-Fâtihah menjadi ummu al-Kitab, sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum,[13] yang dari masalah pokok itu berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat al-Fâtihah. Ayat 1-3 surat al-Fâtihah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surat al-Qur’an. Salah satunya adalah surat al-Ikhlas yang konon dikatakan sepadan dengan sepertiga al-Qur’an. Ayat 5 surat al-Fâtihah (Ihdina ash-shirâtha al-mustaqîm) mendapatkan menjelasan lebih rinci tentang apa itu “jalan yang lurus” di permulaan surat al-Baqarah (Alim, Lam, Mim. Dzalika al-kitabu la raiba fih, hudan li al-muttaqin). Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat al-Fâtihah dan teks dalam surat al-Baqarah berkesesuaian (munâsabah).

Contoh lain dari munasabah antarsurat adalah tampak dari munasabah antara surat al-Baqarah dengan surat Ali Imran. Keduanya menggambarkan hubungan antara “dalil” dengan “keragu-raguan akan dalil”. Maksudnya, surat al-Baqarah “merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum”, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surat ali Imran “sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh Islam”.[14]

Lantas bagaimana hubungan antara surat Ali Imran dengan surat sesudahnya? Pertanyaan itu dapat dijawab dengan menampilkan fakta bahwa setelah keragu-raguan dijawab oleh surat Ali Imran, maka surat berikutnya (an-Nisa’) banyak memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan sosial, kemudian hukum-hukium ini diperluas pembahasannya dalam surat al-Maidah yang memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan perdagangan dan ekonomi. Jika legislasi, baik dalam aras hubunhgan sosial ataupun ekonomi, hanya merupakan instrumen bagi tercapainya tujuan dan sasaran lain, yaitu perlindungan terhadap keamanan masyarakat, maka tujuan dan sasaran tersebut terkandung dalam surat al-An’am dan surat al-A’raf[15].

b. Munâsabah antarayat

Kajian tentang munasabah antarayat, sama seperti kajian tentang munasabah antarsurat, berusaha menjadikan teks al-Qur’an sebagai kesatuan umum yang mengacu kepada berbagai hubungan yang mempunyai corak – dalam istilah yang dipakai Abu Zaid – “interptretatif”.[16] Abu Zaid dalam mengkaji munasabah antarayat tidak memasukkan unsur eksternal, dan tidak pula berdasarkan pada bukti-bukti di luar teks. Akan tetapi teks dalam ilmu ini merupakan bukti itu sendiri.

Dalam memberi contoh munasabah antarayat, penulis akan mengemukakan bagaimana Muhammad Syahrour menafsirkan dan mengaitkan satu ayat dengan ayat lain untuk menampilkan makna otentik, yang dalam hal ini penulis pilihkan tentang masalah poligami. :

Al-Qur’an surat an-Nisa’(4) ayat 3 adalah ayat yang menjadi rujukan fundamental (dan satu-satunya) dalam urusan poligami dalam ajaran Islam :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (an lâ tuqsithǔ) terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil (an lâ ta’dilǔ), kama (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa’/4:3)

Syahrur (1992)[17] dalam magnum opus-nya al-Kitâb wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah mu’âsyirah, menjelaskan kata tuqsithǔ berasal dari kata qasatha dan ta’dilǔ berasal dari kata ‘adala. Kata qasatha dalam lisân al-Arâb mempunyai dua pengertian yang kontradiktif; makna yang pertama adalah al-‘adlu (Q.S. al-Mâidah/5:42, al-Hujarât/49:9, al-Mumtahanah/60:8). Sedangkan makna yang kedua adalah al-Dzulm wa al-jŭr (Q.S. al-Jinn/72:14). Begitu pula kata al-adl, mempunyai dua arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ (baca sama, lurus) dan juga bisa berarti al-a’waj (bengkok). Di sisi lain ada berbedaan dua kalimat tersebut, al-qasth bisa dari satu sisi saja, sedang al-’adl harus dari dua sisi.

Dari makna mufradat kata-kata kunci (key word) Q.S an-Nisa’/4:3 menurut buku al-Kitâb wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah mu’âsyirah karya Syahrur, maka diterjemahkan dalam versi baru (baca : Syahrur) ayat itu sebagai berikut :

“Kalau seandainya kamu khawatir untuk tidak bisa berbuat adil antara anak-anakmu dengan anak-anak yatim (dari istri-istri jandamu) maka jangan kamu kawini mereka. (namun jika kamu bisa berbuat adil, dengan memelihara anak-anak mereka yang yatim), maka kawinilah para janda tersebut dua, tiga atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak kuasa memelihara anak-anak yatim mereka, maka cukuplah bagi kamu satu istri atau budak-budak yang kamu mikili. Yang demikian itu akan lebih menjaga dari perbuatan zalim (karena tidak bisa memelihara anak-anak yatim)”

Ayat di atas adalah kalimat ma’thufah (berantai) dari ayat sebelumbya “wa in …” yang merupakan kalimat bersyarat dalam kontek haqq al-yatâmâ, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (wa âthǔ al-yatâmâ) harta mereka. Jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakana (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar” (Q.S. an-Nisa’/4:2) Dan jika teori batas (nadhariyah hududiyah) Syahrur diterapkan dalam menganalisis ayat itu, maka kan memunculkan dua macam al-hadd, yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kayf (secara kualitas).

Pertama, hadd fi al-kamm. Ayat itu menjelaskan bahwa hadd al-adnâ atau jumlah minimal istri yang diperbolehkan syara’ adalah satu, karena tidak mungkin seorang beristri setengah. Adapun hadd al-a’la atau jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Manakala seseorang beristri satu, dua, tiga atau empat orang, maka dia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah, tapi jikalau seseorang beristri lebih dari empat, maka dia telah melanggar hudŭd Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam, tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan (hadd fi al-kayf).

Kedua, hadd fi al-kayf. Yang dimaksud di sini adalah apakah istri tersebut masih dalam kondisi bikr (perawan) atau tsayyib/armalah (janda)? Syahrur mengajak untuk melihat hadd fi al-kayf ini karena ayat yang termaktub memakai shighah syarth, jadi seolah-olah, menurut Syahrur, kalimatnya adalah : “Fankihǔ mâ thaba lakum min al-nisâ’ matsnâ wa thulâtsâ wa rubâ’ …” dengan syarat kalau “ wa in khiftum an lâ tuqsithū fi al-yatâmâ …”. Dengan kata lain untuk istri pertama tidak disyaratkan adanya hadd fi al-kayf, maka diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat dipersyaratkan dari armalah/ (janda yang mempunyi anak yatim). Maka seorang suami yang menghendaki istri lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya yang yatim. Hal ini, menurut Syahrur, akan sesuai dengan pengertian ‘adl yang harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil kepada anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.[18]

Interpretasi seperti itu dikuatkan dengan kalimat penutup ayat :”dzâlika adnâ an lâ ta’ūlū”. Karena ya’ūlū berasal dari kata aul artinya katsratu al-iyâl (banyak anak yang ditanggung), maka yang menyebabkan terjadinya tindak kedzaliman atau ketidakadilan terhadap mereka. Maka ditegaskan kembali oleh Syahrur, bahwa ajaran Islam tentang poligami, bukan sekedar hak atau keleluasaan seorang suami untuk beristri lebih dari satu, akan tetapi yang lebih esensial dari itu adalah pemeliharaan anak-anak yatim. Maka dalam konteks poligami di sini tidak dituntut adâlah (keadilan) antar istri-istrinya (lihat firman Allah Q.S. al-Nisa’/4:129).

Bentuk lain munasabah antar ayat adalah tampak dalam hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh dalam masalah ini misalnya dalam surat al-Mu’minun, ayat pertama yang berbunyi “qad aflaha al-mu’minun” lalu di bagian akhir surat tersebut berbunyi “innahu la yuflihu al-kafirun”. Ayat pertama menginformasikan keberuntungan dalam orang-orang mu’min, sedangkan ayat kedua tentang ketidakberuntungan orang-orang kafir.

Munasabah antar surat ini juga dijumpai dalam contoh misalnya kata muttaqin dalam surat al-Baqarah : 2, dijelaskan oleh ayat berikutnya yang memberi informasi tentang ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa (muttaqun).

DAFTAR PUSTAKA

Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972

Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995

Imad al-Din Abu al-Fida’ Islamil Ib Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut : Dar al-Fikr, 1966

Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979, Juz I

Manna’ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th.

Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’an : Qira’ah Muashirah, Kairo : Sina Publisher, cet. I

Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 2001

Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001

W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Taufiq Adnan Amal (Penterjemah), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995


[1] Istilah verbum dei, penulis dapatkan dari buku karya Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001

[2] Lihat W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Taufiq Adnan Amal (Penterjemah), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995, h. xi

[3] Para Ulama memasukkan ‘Ilm Munasabah sebagai bagian dari Ulum al-Qur’an, tak terkecuali Imam al-Zarkasyi (salah satu dari 74 cabang Ulum al-Qur’an) dan Imam al-Suyuthi (salah satu dari 100 cabang Ulum al-Qur’an).

[4] Lihat Imad al-Din Abu al-Fida’ Islamil Ib Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut : Dar al-Fikr, 1966

[5] Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972, h. 35-36

[6] Manna’ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th. h. 77-79

[7] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 2001, h. 215

[8] Ibid., h. 213

[9] Lihat perdebatan para ulama itu dalam Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979, Juz I, h. 60-63

[10] Nasr Hamid Abu Zaid, op.cit., h. 213-214

[11] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995, h, 2-3

[12] Lihat Kata Pengantar Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam buku terjemahan Fazlur Rahman, op.cit., h. vi

[13] Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, op.cit., h. 218-219

[14] Ibid. h. 219

` [15] Ibid., h. 220-221

[16] Ibid., h. 226-236

[17] Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’an : Qira’ah Muashirah, Kairo : Sina Publisher, cet. I, 1992, h.

[18] Ibid., h. 598

Categories:


kutipan pengantar tafsir esoteris

Tafsir Esoteris Qur'an PDF Print E-mail
Jul 21, 2007 at 01:35 PM
Oleh: el-Hurr
"Manakala disebut-sebut ihwal tafsir-tafsir al-Qur’an, maka akan muncul dalam benak kita bahwa semuanya ini biasanya sikaitkan dengan karya-karya besar dan khusus, dengan kerangka penafsiran komprehensif yang meliputi seluruh ak-Qur’an yang dimulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir. Dengan mengabaikan fakta bahwa hampir setiap karya yang membicarakan agama Islam melibatkan, secara langsung maupun tidak langsung, pemahaman tertentu tentang al-Qur’an dan penafsiran tertentu atas ayat-ayat tertentu pula. Disebabkan adanya fakta yang jelas bahwa keseluruhan agama Islam berkisar pada kitab ini. Kadang-kadang, bahkan suatu rujukan tertentu pada suatu ayat menunjukkan penafsiran yang implisit dan khas atasnya. Ini secara khusus berlaku atas esoterime Islam."

Manakala disebut-sebut ihwal tafsir-tafsir al-Qur’an, maka akan muncul dalam benak kita bahwa semuanya ini biasanya sikaitkan dengan karya-karya besar dan khusus, dengan kerangka penafsiran komprehensif yang meliputi seluruh ak-Qur’an yang dimulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir. Dengan mengabaikan fakta bahwa hampir setiap karya yang membicarakan agama Islam melibatkan, secara langsung maupun tidak langsung, pemahaman tertentu tentang al-Qur’an dan penafsiran tertentu atas ayat-ayat tertentu pula. Disebabkan adanya fakta yang jelas bahwa keseluruhan agama Islam berkisar pada kitab ini. Kadang-kadang, bahkan suatu rujukan tertentu pada suatu ayat menunjukkan penafsiran yang implisit dan khas atasnya. Ini secara khusus berlaku atas esoterime Islam.

Bisa disimpulkan, bahwa, seluruh esetoris Islam pada dasarnya adalah penafsiran esetoris atas al-Qur’an. oleh karena itu, tafsir-tafsir esoteris al-Qur’an berkisar dari karya-karya yang ditulis untuk tujuan khusus berupa tafsir esoteris yang tersebar di segala jenis karya esoteris Islam.

Bahasa Simbolisme

Tafsir-tafsir esoteris atas al-Qur’an pada dasarnya disatukan melalui prinsip simbolisme, sebagaimana dipahami dalam pengertian tradisionalnya. Bahkan, simbolisme berfungsi sebagai kata kunci untuk semua itu sehingga tafsir-tafsir itu juga bisa disebut sebagai “tafsir-tafsir simbolis”. Proses penafsiran simbolis dan espteris disebut ta’wil, yang secara teknis bermakna hermeneutika simbolis dan spiritual. Akan tetapi secara etimologis, ia berarti membawa sesuatu kembali kepada awalnya, yaitu awal atau asal-usulnya; dengan demikian, membawa atau mengikuti simbol-simbol kembali kepada asal-usul yang dilambangkannya.

Ta’wil berlaku untuk segala jenis simbol, baik di alam, dalam dunia manusia, maupun dalam teks wahyu. Al-qur’an sendiri menggunakan kata ayat, tanda-tanda atau isyarat-isyarat, untuk ayat-ayatnya sendiri serta untuk objek-objek dan peristiwa-peristiwa di dalam dunia alam dan jiwa manusia.

Sejauh menyangkut al-qur’an, para penafsir esoteris biasanya mengacu pada empat jenis ata empat lapisan simbolisme, dan sebagai konsekwensinya, empat ta’wil. Pertama, al-Qur’an, kalam Allah swt. secara keseluruhan adalah simbol paling langsung dari alam spiritual. Ia mewujud dalam huruf-huruf dan suara “ suatu kehadiran spiritual aktif dan konkret” yang bisa secara langsung menuntun pada kesadaran. Pengaruh dari totalitas al-Qur’an pada tataran simbolisme pertama tidak selalu bersesuaian dengan penafsiran tertentu atas masing-masing ayat al-Qur’an yang dijumpai pada tafsir-tafsir esoteris.

Tujuan akhir ta’wil pada tahap ini adalah kesadaran, melaui interiorisasi esensi Ilahi dari al-Qur’an, dan bukan melalui penulisan tafsir-tafsir itu. Tapatnya, tafsir-tafsir esoteris, dalam hubungannya dengan pengertian pertama ini bukanlah ta’wil, melainkan hasil-hasil tak langsungnya. Semua itu adalah upaya untuk mengungkapkan, dalam bahasa manusia, pengaruh dari pengalaman spiritual, manusiawi-Qur’ani-Ilahi.

Jenis simbolisme kedua di dalam al-Qur’an adalah acuannya yang banyak pada simbol-simbol objektif yang ada di luar dunia alam dan di dalam diri manusia. Di sini simbolisme al-Qur’an bertemu dan mengandung dua jenis simbolisme utama lainnya yang disebut sebelumnya, yakni simbol-simbol makrokosmis di jagat raya dan simbol-simbol di alam makrokosmis manusia. Langit, matahari, bulan, bintang-bintang, lautan, burung-burung, pepohonan dan hati manusia hanyalah sebagiankecil dari banyak simbol yang dijumpai dalam al-Qur’an. inilah simbol-simbol dalam pengertian bahwa semua itu menuntun kembali pada realitas-realitas lebih tinggi yang dilambangkannya dan berperan serta di dalamnya secara mandiri dan terpisah dari pilihan atau persetujuan apa pun dari pihak kita. Semua itu bukanlah simbol-simbol yang lazim atau literer, tetapi begitu alamiah dan objektif sehingga tetap ada, entah kita menginginkannya ada atau tidak ada, entah kita menyadarinya atau tidak. Konsekwensinya, ada banyak tafsir esoteris yang mengacu pada jenis simbol ini, dan makna-maknanya dijelaskan melalui pembacaan al-Qur’an serta melalui perenungan langsung atas dunia luar dan dunia dalam.

Lapisan ketiga dari simbolisme al-Qur’an berkenaan dengan simbol-simbol al-Qur’an tertentu. Ketika, misalnya, Nabi Musa berada di Lembah suci Thuwa’ dan diperintahkan oleh Allah untuk melepaskan sandalnya. [1] para penafsir esoteris biasanya menafsirkan kni sebagai berhubungan dengan badan dan jiwa, atau keterikatan dengan dunia ini dan akhirat nanti. Akan tetapi sandal itu di sini bukanlah simbol alam, karena benda itu adalah buatan manusia dan tidak ada di dunia luar yang tidak bergantung pada tindakan-tindakan manusia. Yang juga termasuk simbol-simbol khas al-Qur’an adalah “pena” (al-Qalam) dan “lembaran” (al-Lauh), sekalipun keduanya adalah kiasan langsung untuk prinsip maskulin dan prinsip feminin di dunia alam, yang pada gilirannya merupakan simbol-simbol objektif dan universal dari prinsip-prinsip kosmis yang lebih tinggi. Karena itu, seluruh tataran struktur simbolis al-Qur’an pada hakikatnya berkaitan datu sama lain.[2]

Di samping totalitas kitab sebagai sebuah simbol dan masing-masing katanya sebagai simbol universal ata simbol khas, simbolisme dalam huruf yang tersusun menjadi kata dan Kitab itu secara keseluruhan telah diuraikan oleh para penafsir esoteris. Di sini mereka memusatkan perhatian terutama pada muqaththa’ah atau fawatih al-suwar, huruf-huruf dari abjad arab yang terpisah di awal beberapa surah al-Qur’an. terutama adalah alif (padanan Arab untuk huruf a) yang telah menarik perhatian para penafsir esoteris sebab ia sesungguhnya ada;ah huruf pertama dari abjad dan yang pertama dari “huruf-huruf terpisah” dalam al-Qur’an serta muncul di awal surah kedua, al-Baqarah (“sapi betina”), sura paling panjang dalam al-Qur’an.[3]

Para penafsir esoteris melihat di dalamnya suatu simbol dari Yang Maha Esa – Yang Maha Mencakupi dan tidak bergantung pada apa pun, dan bahkan merupakan asal-usul dari segala sesuatu. Di seputar penafsiran simbolis al-muaqaththa’ah yang membahas simbolisme angka dari seluruh huruf dalam abjad, dan angka-angka itu sendiri diperhitungkan dalam makna simbolisnya.

Unsur-unsur pembacaan simbolis al-Qur’an ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an sendiri. Sesungguhnyalah, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa prinsip-prinsip tafsir esoteris-simbolis atas al-Qur’an terejawantah di dalam al-Qur’an sendiri. Dengan demikian, dalam satu pengertian, al-Qur’an adalah tafsir pertama dan, dengan sendirinya, paling baik atas dirinya. Aturan tafsir terkenal yang mengatakan bahwa sebagian al-Qur’an menjelaskan bagian lainnya (al-Qur’an yufassiru ba’dhuhum ba’dhan) bukan hanya sebatas tataran eksoteris saja, melainkan juga berlaku pada tataran esoteris pula. Terbatasnya ruang di sini tidak memungkinkan untuk menjelaskan secara panjang lebar persoalan ini, dan hanya beberapa ayat al-Qur’an yang dapat dikemukakan.[4]

Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) ada dirimu sendiri. Tidakkah kamu memperhatikan? Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu, dan terdapat pula apa yang dijanjikan kepadamu (al-Dzariyat: 20-22)

Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (Yasin: 36)

Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi…(alThalaq: 12)

Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti dirimu (al-An’am: 38)

Dia menciptakan untukmu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan pula… (al-Syura: 11)

Dari beberapa ayat di atas, hubungan yang diuat al-Qur’an antara berbagai aspek alam dan antara alam secara keseluruhan, manusia, dan realitas-realitas spiritual yang lebih tinggi tampak sangat jelas. Apa yang ada di bawah secara umum berhubungan dengan realitas-realitas “yang lebih tinggi” “di atas “; dan apa yang ada “di atas” hanyalah symbol dari apa yang ada di dalam atau bathin.

Siapa pun yang mengenal kualitas sintesis dari bahasa Arab akanmengetahui sewaktu membaca al-Qur’an sebagaimana ia memamfaatkan sepenuhnya kelebihan ini. Misalnya saja, sebuah istilah Arab bisa menunjukkan makna realitas-realitas yang berbeda (secara jelas), yang menyampaikan pesan bahwa realitas-realitas yang dapat ditangkap indra tak lain adalah refleksi dari yang lebih tinggi dalam hierarki wujud.

Sunnah dan Tafsir Esoteris

Setelah al-Qur’an, sumber kedua tafsir esoteris adalah sunnah, hadits Nabi, dengan dua cabang utamanya –hadits Nabi (hadits Nabawi) dan hadits suci (hadits qudsi). Sebagaimana ada tafsir-esoteris atas al-Qur’an, ada pula tafsir esoteris atas hadits, suatu hal yang biasanya diabaikan. Tafsir-tafsir ini menemukan dalam hadits, selain tafsir-tafsir langsung atas ayat-ayat al-Qur’an, prinsip-prinsip simbolisme yang terdapat dalam al-Qur’an, seperti misykat al-anwat, karya al-Ghazali, dan Fushush al-Hikam, karya Ibn Arabi, sesungguhnya adalah tafsir-tafsir atas al-Qur’an dan hadits.[5] Demikian pula karya Ibn Atha’ Allah al-Iskandar, lathaif al-Minan, yang memuat juga tafsir al-Qur’an. bagaimanapun, titik tolak bagi seluruh tafsir esoteris atas al-Qur’an adalah hadits terkenal yang menyatakan bahwa “al-Qur’an memiliki dimensi lahiriah dan batiniah”, suatu ucapan dari Nabi, dengan beberapa variasi keredaksian.

Hanya, harus ditambahkan bahwa, bagi kaum muslim Syi’ah, konsep hadits mencakup juga, selain hadits-hadits Nabi, hadits-hadits yang diriwayatkan dari para Imam, dan ini membawa kita pada sumber ketiga dari tafsir esoteris al-Qur’an dalam periode awalnya. Di antara sahabat-sahabat Nabi, Imam Ali bin Abi Thalib as, Abdullah Ibn Mas’ud dan Abdullah Ibn Abbas, adalah yang paling menonjol sejauh menyangkut tafsir pada umumnya. Akan halnya ta’wil, beberapa tafsir tentang “huruf-huruf terpisah” dinisbahkan kepada Ibn Abbas.[6] Jika kita mempertimbangkan fakta bahwa ada banyak sekali ucapan yang dimasukkan dalam tafsir eksetoris itu sendiri, terutama yang berkaitan dengan tafsir bil ma’tsur (tafsir berdasarkan riwayat-riwayat), maka kita akan menyadari betapa dalamnya esoterisme telah merembes ke dalam tradisi tafsir secara keseluruhan.

Para Filosof dan Tafsirnya

Tafsir al-Qur’an terdapat dalam karya para filosof Islam sejak akhir abad ke-3 H/ke-9 M dan paruh pertama abad ke-4/ke-10 M, yakni masa Abu Nash al-Farabi (w. 339H/950 H), Ibnu Sina, yang hidup pada abad ke-4 H/ke-10 M dan ke-5 M/ke-11 H, juga meninggalkan tafsir-tafsir atas sekurang-kurangnya tiga surah al-Qur’an terakhir yang pendek, tetapi sangat penting, yakni ayat cahaya, dan beberapa ayat al-Qur’an lainnya untuk kita. Hanya barangkali yang paling penting dari tulisan-tulisannya dalam bidang ini adalah risalah Nairuziyyah, “tentang makna huruf-huruf dalam abjad di awal beberapa surah al-Qur’an”.

Karya terakhir ini terutama didasarkan pada tradisi tafsir-esoteris atas al-Qur’an dalam bahasan simbolisnya atas “huruf-huruf terpisah”, yang telah digali sejak masa jauh sebelum Ibn Sina. Setelah Ibn Sina, kita mengenal upaya lain untuk menggabungkan filsafat dengan tafsir al-Qur’an oleh syaikh al-Isyraq al-Suhrawardi, yang lebih tepat disebut sebagai seorang teosof (hakim) dari pada seorang filosof dalam pengertian umum. Dia melangkah lebih jauh dengan mencari dukungan dalam al-Qur’an untuk gagasan-gagasannya, dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an dalam konteks diskusi-diskusi teosofisnya. Di samoing memiliki signifikansinya tersendiri, disebut-sebutnya ayat-ayat al-Qur’an ini jelas melibatkan tafsir-hermeneutika atas teks suci.[7]

Teosofi Suhrawardi dan usahanya untuk menyingkirkan rintangan-rintangan di antara dua tradisi filsafat Islam dan tafsir al-Qur’an bergaung di Persia yang beraliran Syi’ah. Teosofi “iluminasinya” yang diambil oleh aliran Syi’ah dan beberapa penafsirannya atas Ibn Sina yang “esoteris”, berikut doktrin-doktrin makrifat sufi Ibn Arabi, akhirnya menimbulkan suatu gerakan intelektual besar yang diwakili oleh sekelompok hukama, atau para sufi, yang sekaligus menjadi penafsir-penafsir al-Qur’an.

Tafsir-tafsir Syi’ah

Makna penting historis dan doctrinal dari tafsir esoteris atas al-Qur’an, lebih lanjut ditekankan oleh fakta bahwa desakan pada keharusan tafsir ini dan msalah otorits yang kepadanya ia mesti dipercayakan merupakan dua hal pokok yang dengannya mazhab Syi’ah membedakan dirinya dari Islam mazhab Sunni. Inilah tepatnya yang terjadi pada dua cabang utama mazhab Syi’ah dua belas Iman dan Mazhab Ismailiyah. Pentingnya eksistensi makna esoteris dalam al-Qur’an merupakan gagasan yang diyakini oleh mazhab Syia’h dan tasawuf, yang sebagian besar hidup di dunia Sunni. Akan tetapi, dalam analisis terakhir, tasawuf melampaui dikotomi Sunni-Syi’ah. Hal kedua inilah, yakni keharusan adanya otoritas yang sah, yang lebih jauh menandai mazhab Syi’ah dan pandangannya tentang tafsir al-Qur’an.

Bagi kalangan penganut Syi’ah, menafsirkan al-Qur’an hanya boleh dilakukan oleh para Imam. Mereka adalah para penerus Nbai, yang kepadanya Kitab Mulia itu diwahyukan dan pemahaman sepenuhnya diberikan. Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa seorang ulama syi’ah yang berkemampuan tidak boleh memberikan sumbanganny pada bidang penafsiran. Siapa saja yang mampu, terutama dari segi spiritual, beloh melakukannya. Hanya “mampu secara spiritual”, sesungguhnya adalah cara lain untuk mengatakan bahwa penafsir itu telah berhasil menjalin “kontak batin” dengan para Imam, yang diwakili, dalam mazhab Syi’ah Dua Belas Imam, oleh Imam kedua belas dan terakhir, yakni al-Mahdi as. pentingnya segi batin al-Qur’an, di satu sisi dan para Imam sebagai penafsirnya dalam fungsi-fungsi kosmis, inisiatif, dan sosial lainnya, di sisi lain, telah memberi mazhab Syi’ah nada esetoris yang melekat, bahkan dalam dimensi-dimensi esoterisnya yang sangat jelas. Cirri ini terutama tampak dalam tafsir-tafsir eksoteris Syi’ah atas al-Qur’an. seseorang yang membaca tafsir-tafsir yang jelas bersifat eksoteris karya al-Thusi dan al-habarsi, misalnya, harus menangkap hakikiat esoteris yang mendasari tafsir-tafsir tersebut melalui fakta keberadaan diri mereka sebagai penganut Syi’ah dan keyakinan mereka yang sangat besar kepada para Imam.

Kembali kepada para teosof-penafsir Syi’ah dalam periode yang dimulai sejak abad ke-8 H/ke-14 M, tokoh pertama yang harus dikemukan adalah Haidar Amuli (w. setelah 794 H/1392 M). dia menulis sebuah tafsir makrifat, dalam tujuh jilid tebal, yang masih dalam bentuk manuskrip. Di dalamnya dia mengemukakan bukan hanya tafsir-tafsir ayat demi ayat, melainkan juga suatu teori umum tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan hermenutika spiritual. Satu generasi kemudian, Sha’in al-Din Ali Ishfahani (w. 830 H/1427 M) menyusun sebuah risalah, yang masih belum diterbitkan, yang di dalamnya dia memusatkan perhatiannya pada satu ayat pendek al-Qur’an, telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan (al-Qamar: 1) dengan menggali semakin dalam makna al-Qur’an.

Akan tetapi, di tangan Shadr al-Din Syirazi (w. 1050 H), yang juga dikenal dengan Mulla Shadra, sintesis antara tiga aliran intelektual Islam yaitu makrifat, sufi, filsafat atau teosofi, dan teologi Syi’ah akhirnya tercapai, dan secara langsung tercermin dalam bidang tafsir esoteris atas al-Qur’an.[8]

Sebagaimana Rumi diyakini sebagai suatu fenomena unik dikalangan para penyair Islam, Mulla Shadra dari Syiraz juga dipandang memiliki “suatu perbedaan unik” di kalangan para filosif Islam. Al-Qur’an senantiasa hadir dalam benak dan jiwa kedua orang ini, ketika mereka menyusun karya-karya puisi dan filsafat. Dalam kasus Mulla Shadra, pengaruh al-Qur’an tidak berhenti dengan kutipan-kutipan langsung dari teks suci dalam seluruh tulisannya. Pengaruh itu pun terasa dalam sumbangan besar yang diberikannya secara langsung pada bidang tafsir dan menjadikannya “seorang penafsir utama al-Qur’an” yang sejajar dengan para penafsir dalam sejarah Islam. Mulla Shadra dianggap sebagai “barangkali filosof Islam terbesar” dan pada saat yang sama, tanpa pengaruh langsung dari al-Qur’an, tulisan-tulisannya tidak mungkin dapat dipahami. Inilah bukti lebih lanjut dari pentingnya alQur’an dan pemahamannya dalam sejarah intelektual Islam.

Seorang rekan sezaman Mulla Shadra, Sayyid Ahmad Alawi, jug amenulis dalam bahasa Persia sebuah tafsir tentang surah-surah al-Qur’an yang berbeda, yang dianggap sebagai salah satu tafsir makrifat dan teosofis yang menonjol di dunia Syi’ah. Sayangnya naskah inipun masih belum diterbitkan. Mulla Muhsin Faidh al-Kasyani (w. 1090 H), seorang muris dan anak tiri Mulla Shadra, juga menulis sebuah tafsir bil ma’tsur (berdasarkan riwayat), yang terutama didasarkan pada riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada para Imam. Ini semua terus berlanjut dalam dunia Syi’ah Dua Belas Imam sampai sekarang. Salah seorang murid Muhsin Faidh al-Kasyani, Abu Hasan Syarif Amili al-Isfahani (w. 1138 H) memulai suatu proyek tafsir menumental dengan tujuan mengemukakan pengertian esoteris dari setiap ayat al-Qur’an dengan merujuk pada tradisi para Imam yang terkait dengan masing-masing ayat. Akan tetapi yang diselesaikannya adalah sebuah buku besar berisi penjelasan –merupakan suatu prestasi penting- yang mengemukakan prinsip dan aturan umum dari berbagai metode hermeneutika Syi’ah.[9] Pada abad-abad sebelumnya sampai sekarang, kita terus menemukan tafsir-tafsir monumental, seperti karya sulthan Ali Syah (w. kira-kira 1318 H) dan Sayyid Husain Thabathaba’I (1321-1402 H) serta yang paling mutaakhir adalah Ayatullah Abdullah Jawadi Amuli yang menjadi salah seorang penafsir al-Qur’an yang paling produktifi di pusat pendidikan ilmiah di kota suci Qom-Iran.



[1] . Qur’an 20:12

[2] . Abdurrahman Habil, Tafsir-tafsir Esoteris al-Qur’an, hal. 33

[3] . Anna M. Schimmel, Simbolisme al-Qur’an, hal. 23

[4] . Ibnu Atha’, Lathaif al-Minan, 252

[5] . lihat terutama hal. 98, 159, 215, 222-23

[6] . Sahl al-Tustari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, hal. 12

[7] . Abdurrahman Habil, Tafsir-tafsir Esoteris al-Qur’an, hal. 47

[8] . ibid, hal.49

[9] . Ibid. 53

karya-karya muhyidn arabi

Di bawah ini merupakan karya-karya utama Syeikh Muhyiddin Ibnu 'Araby, yang nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Al-Araby, At-Tha'y al-Hatimy al-Andalusy, -- semoga Allah meridloinya -- sebagaimana dijelaskan sendiri oleh beliau dalam Fihrasatnya. Sementara biografi beliau pernah kita muat di beberapa edisi lalu:

"Segala puji bagi Allah Ta'ala dan salam kepada hambaNya yang terpilih (Nabi Muhammad saw.). Amma Ba'du:

Sebagian kawan memberikan saran agar saya menyusun daftar karya-karya saya dan telah saya rangkai dalam menjelaskan Jalan Hakikat dan Rahasia Menurut Dimensi Tasawwuf, dan karya di luar disiplin Tasawuf. Kemudian saya rangkai - semoga Allah memberikan Taufiq -- dalam Fihris ini sesuai dengan permintaan mereka. Hanya saja sebagian kitab dalam fihris ini yang saya sebutkan - jika Allah berkehendak - jumlahnya sedikit. Karena sebagian saya titipkan kepada seseorang, karena suatu hal. Namun seseorang itu tidak mengembalikan kepada saya sampai sekarang. Apa yang sudah ada di tangan pembaca saat ini, adalah karya-karyaku yang tidak ada pada kawan saya tadi. Diantaranya sudah ada yang selesai, ada juga yang belum, tetapi yang belum selesai memang sedikit.

Apa yang saya tulis dalam karya-karya kitab saya, sebenarnya bukan seperti tujuan para pengarang, juga bukan bertujuan mengarang. Tetapi seluruh wacananya mengalir begitu saja pada diri saya, langsung dari Allah Ta'ala memalui anugerah yang hampir-hampir menghanguskan diriku. Aku hanya melakukan yang bisa saja. Lalu aku keluar dari tradisi sebagaimana yang dilakukan para pengarang dalam mengarang. Dan diantaranya memang aku susun karya itu, semata karena Perintah Ilahi, ketika muncul dalam tidurku ataupun melalui mukasyafah langsung.

Saya memulai dengan menyebut sejumlah kitab yang saya titipkan itu, tetapi saat ini tidak ada di tangan saya, bahkan tidak pada tangan orang lain menurut asumsiku. Bahkan saya tidak pernah mendengarkan kabarnya lagi hingga hari ini. Dan kemudian aku sebutkan sejumlah kitab yang sudah ada di kalangan publik saat ini. Dan aku pun tidak keluar kepada publik hanya untuk menunggu agar mereka mengeluarkannya, karena ada hal-hal yang dititipkan oleh Allah kepadaku dengan Intuisi Rabbany yang benar, yaitu Perintah Ilahi dimana harus kita dilakukan. Hanya kepada Allahlah kami memohon pertolongan."

Fasal Mengenai Kitab yang Dititipkan (pada seseorang): Diantaranya mengenai Hadits Nabi:

  1. Saya membuat Ikhtisar mengenai Musnad Shahih Muslim bin al-Hajjaj, untuk diriku.
  2. Saya membuat Ikhtisar mengenai karya Abu Isa At-Tirmidzy. Saya juga memulai sebuah kitab, saya beri judul:
  3. Al-Mishbah fil-Jam'I Bainas Shihah. Begitu juga saya memulai menyusun:
  4. Ikhtisharul Muhalla, karya Ibnu Hazm al-Farisy
  5. Kitabul Ihtifal fiimaa Kaana 'Alaihi Rasulillah Sallallahu 'Alaihi Wasallama min Sanal Ahwaal.

    Sedangkan yang berhubungan dengan Ilmu hakikat dalam Thariqat Sufi (yang ada pada seseorang itu) antara lain:
  6. Kitabul Jam'i wat-Tafshil fii Asraarit Tanziil.

    Saya sudah selesaikan sampai ayat: Wa-Idz Qaala Muusaa Lifataahu Laa Abrahu…".Sungguh sebuah tafsiran indah di sana. Dan saya tidak menduga jika ada sesuatu yang luas dalam perpsektif Al-Qur'an dari titik pandang ayat tersebut. Dan karena itu saya susun tertib dalam mengulas setiap ayat, menurut Tiga Maqomat: Maqom Al-Jalal, Maqom Al-Jamal dan Maqom I'tidal, yaitu Al-Barzakh dari segi dimensi Al-Waratsul Kamil Al-Muhammady, yakni Maqom Al-Kamal.

    Saya mengambil ayat dari Maqom Al-Jalal dan Al-Haibah, lalu saya mengulasnya sampai saya mengembalikannya pada Maqom tersebut dengan Isyarat yang sangat lembut dan wacana yang indah, lantas saya mengambilnya dengan kenyataannya, dan saya membicarakannya di Maqom Al-Jamal, yaitu Maqom yangberhadapan dengan yang Maqom pertama. Lalu saya kembalikan seakan-akan ayat tersebut turun dalam Maqom tersebut secara khusus. Lalu saya mengambil ayat tersebut dengan segenap kenyataannya, kemudian saya uraikan dari Maqom Al-Kamal dengan bahasa yang sama sekali tidak sama dengan dua perspektif arah yang terdahulu. Dalam Maqom ini saya berbicara mengenai rahasia huruf dan kalimat, huruf kecil yang merupakan harokat, sukun yang hidup dan sukun yang mati, manakala disana memang ada. Begitu juga hubungan, sandaran dan isyarat yang tersembunyi dan sebagainya. Jika saya sudah rampung baru pindah ke ayat berikutnya Tak satu pun ada kalimat pada seseorang, kecuali sebagai kesaksian, dan itu sangat sedikit.
  7. Kitabul Jadzwatil Muqtabisah wal-Khathratil Mukhtalisah.
  8. Kitabu Miftahis Sa'adah fi Ma'rifati Madkhali ila Thariqil Irodah
  9. Kitabul Mutsallatsaatil Waridati fil Qur'an, seperti dalam ayat " Laa Faaruidlun wa-Laa Bikrun 'Awaanun…." Dan firmanNya, "Walla Tajhar bi Sholaatika walaa Tukhhofit bihaa wabtaghii baina Dzaalika Sabiila…"
  10. Kitabul Musabba'aat al Waridat fil Qur'an, seperti dalam firmanNya , "Khalaqa Sab'a Samawaat.." dan "Wasab'atun Idzaa Roja'tum…"
  11. Kitabul Ajwibah 'alal Masaailil Manshuriyah, yang berisi seputar seratus pertanyaan, yang ditanyakan oleh sahabatku yang bernama Manshur.
  12. Kitabu Mubaya'atil Quthub fi Hadlratil Qurb. Sebuah kitab yang mengandung berbagai masalah total dari struktur Malaikat, para Rasul, para Nabi, para 'Arifun dan Ruuhaniyyatil Mala'il A'la
  13. Kitabu Kasyfil Ma'na 'an Sirri Asma'ilLaahil Husna
  14. Kitabu Syifail Ghalil fi Idhaahis Sabil ilaal Mau'idzah
  15. Kitabu "Aqlatil Mustaufa fi Ahkaamish Shun'atil Insaaniyyah wa-Tahsiinish Shun'ah al-Imaaniyah
  16. Kitabu Jallail Qulub. Ini sungguh kitab ajaib, karena ketika saya susun, setiap kawanku mengambil satu kuras dua kuras (satu dua lipatan jilid) untuk ditelaah. Sedangkan edisi kitab ini terdiri dua puluh lembar. Suatu malam saya keluar menuju luar negeri dengan sejumlah murid saya, lalu kami menelaah isi kandungannya, dan sungguh kitab ini sangat indah topik-topiknya. Ketika kami selesai membacanya, kami letakkan di atas tanah, langsung ditelan oleh tanah itu. Tidak jelas apakah manusia atau jin yang menelannya, begitu cepat tak terlihat mata, dan hingga saat ini saya tidak tahu kabarnya. Sedangkan sebagian kitab tidak bisa saya kumpulkan dan tidak dikembalikan ke saya. Setiap orang yang memegang sebagian kitab itu, maka kitab itu sirna begitu saja. Itulah keadaannya.
  17. Kitabut Tahqiq fii Sya'nis Sirri al-Ladzi Waqara fi Nafsish Shadiq
  18. Kitabul I'lam bi Isyarati ahlil Ilham
  19. Kitabul Ifham fi Syarhil I'laam
  20. Kitabus Sarraj Wahhaj fi Syarhi Kalamil Hallaj
  21. Kitabul Muntakhabil min Maatsiril Arabi
  22. Kitabu Nataijil Afkaar wa-Hadaiqil Azhar
  23. Kitabul Miizan fi Haqiqatil Insaan

    Semua kitab tersebut ada di tangan seseorang (yang tak pernah kembali). Saya tidak tahu apakah masih ada yang teringat dalam diri saya atau tidak. Karena janji telah berlalu, sedang ingatan tidak berulang karena zaman yang lewat, bahkan khawatir jika waktu malah hilang begitu saja.

    Fasal Mengenai Kitab yang Ada pada Publik yang Dikaitkan dengan Saya, Diantaranya kitab Hadits:
  24. Kitabul Muhijjatil Baidho'. Saya tulis di Mekkah. Saya sempurnakan dengan Bab Thaharah dan Sholat dalam dua jilid, dan yang ada di tangan saya sekarang hanya jilid ketiga. Saya menulis Kitabul Jum'ah di dalamnya.
  25. Kitabu Miftahis Sa'adah. Di dalamnya saya mengumpulkan matan Muslim dan Bukhari, dan sebagian Haditsnya at-Tirmidzi.
  26. Kitabu Kanzil Abrar fiima Yarwi 'Anin Nabiyyi Shollallahu 'Alaihi Wasallama, minal Ad'iyati wal-Adzkar.
  27. Kitabu Misykaatul Anwaar fima Yarwi 'AnilLaahi Ta'ala minal Akhbaar.
  28. Kitabul Arba'in al-Mutaqabalah
  29. Kitabul Arba'in al-Muthawwalat
  30. Kitabul Ghoin.

    Saya tidak ingat lagi mengenai disiplin di dalamnya, karena sibuknya superintuisi dan saya tidak mau menengok ke masa lalu.

    Sedangkan Kitab yang ada pada Publik seputar Hakikat, antara lain:
  31. Kitabut Tadbiraat al-Ilaahiyah fi IIshlaahil Mamlakatil Insaaniyah, dimana saya mengikuti gaya Aristoteles dalam bukunya Sirrul Asrar yang ditulis untuk Aleksander. Karena buku Aristoteles itulah saya pun menulis kitab rahasia untuk saudaraku Abu Muhammad Abdullah bin al-Ustadz al-Mauruzy
  32. Kitabu Sababi Ta'aaluqin Nafsi bil Jism, wamaa Tuqaasi minal Alami 'inda Firaqihi bil Mauti.
  33. Kitabu Inzaalil Ghuyyub 'ala Maratibil Qulub fiima Lana min Suja'in wa Syi'rin
  34. Kitabul Asra fi Maqqamil Asra
  35. Kitabu Musyahadatil Asraril Qudsiyah wa Mathali'il Anwaaril Ilahiyah
  36. Kitabul Jaliy
  37. Kitabul Manhajis Sadid fi Tartiibi Ahwaalil Imamil Bisthamy Abi Yazid -radliyallahu'anh-
  38. Kitabu Miftahi Aqfaalil Ilhaamil Waahid wa-Idhaahi Isykaal I'laamil Murid fi Syarhi Ahwaalil Bisthamy Abi Yazid Radliyallahu 'anhu. Allah Ta'ala memerintahkan saya untuk menuraikannya ketika dalam mimpi, tidur di pantai Sabtah di Marokko. Lalu saya bangun terhenyak menjelang fajar, dan di hadapanku ada dua penulis naskah, lalu aku dekte untuk menulis menjadi kitab. Sebelum matahari terbit sudah selesai dua jilid.
  39. Unsul Munqathi'in bi-Rabbil 'Alamin, saya tulis untuk diriku dan orang lain.
  40. Kitabul Mau'idzoh al-Hasanah
  41. Kitabul Bughyah fikhtishoril Hilyah li Abi Nu'aim al-Hafidz, saya tulis untuk diri saya sendiri.
  42. Kitabud Durroh al-Fakhiroh fi Dzikri man Intafa'tu bihi fi Thariqil Akhiroh
  43. Kitabul Mabadi' wal-Ghoyaat ffimaa Tahwi alaihi Huruuful Mu'jam minal 'Ajaibi wal-Ayaat.
  44. Kitabu Mawaqi'in-Nujum Wa Mathali'I Ahillatil Asrar wal 'Ulum
  45. Kitabul Inzaalatil Wujudiyah minal Khozaainil Juudiyah
  46. Kitabu Hilyatil Abdaal wamaa Yadzharu 'alaihaa minal Ma'aarifi wal-Ahwaal. Sebuah kitab mengenai waktu saya tulis di Thaif di darb Aby Ummiyah. Saya ulas dalam keadaan lapar, diam, terjaga dari tidur dan khalwat.
  47. Kitabu Anwaril fajri fi Ma'rifatil Maqaamat wal-'Amilina alal Ajri wa-'Ala Ghairil Ajri. Saya beri judul demikian karena saya tulis semuanya, tidak satu huruf pun kecuali di waktu fajar hingga hamper terbitnya matahari.
  48. Kitabul Futuhatil Makkiyyah. Sebuah kitab besar dalam beberapa jilid, ketika saya dibuka secara ruhani di Makkah. Mengandung 560 bab dalam rahasia yang cukup besar dalam struktur ilmu dan ma'rifat, penempuhan dan manzilah-manzilah, serta pusat-pusat quthub, dan sejenisnya.

Untuk kelanjutan karya-karya Syeikh Muhyiddin Ibnu 'Araby, bisa anda baca edisi depan.

tafsir al-baqarah ibnu arabi

Prilaku Penghianat


“Yaitu orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memotong apa yang telah diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan dimuka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”


Ayat ini masih menjelaskan tentang predikat orangn-orang kafir, orang fasik dan orang-orang munafik. Mereka memiliki karakter yang sangat jelas, yaitu sikap untuk terus menerus melanggar komitmen yang sudah disepakati bersama, bahkan memiliki kecendrungan untuk memutuskan jalan bagi berlakunya perintah-perintah Allah, dengan suatu kepentingan, agar struktur dunia ini hancur, buni ini gonjang ganjing, dan bahkan pada akhirnya sejarah mencatat mereka sebagai golongan orang-orang yang ememtik kerugian besar.

Dalam perjalanan batin kita menuju kepada Allah, senantiasa muncul nafsu-nafsu untuk melanggar aturan-aturan dunia samawat (langit), yang sesungguhnya telah jadi kesepakatan dan kita teguhkan dizaman “azali” dulu, bahwa kita senantiasa akan berselaras dengan Perjanjian Ilahiah (‘Ahdullah) ketika itu. Tetapi orang yang tertutup hatinya oleh kegelapan duniawi, yang ditegakkan oleh ambisi dan nafsu, maka Perjanjian Ilahiah tertutup dari jati diri kita, rahasi batin kita, sehingga justru nafsu itu ingin mengabaikan aturan-aturan Ilahiah yang murni dan hakiki.

Allah memberikan gambaran, bahwa kecendrungan itu akan mengakibatkan kerusakan dubia dan bumi ini, karena manusia melanggar kekhalifahan dirinya, yaitu jabatan yang telah diberikan Allah dalam “konstitusi ruhani” dialam ‘azali dulu.

Kekhalifahan yang tercerabut, akhirnya memunculkan “kekhalifahan semu” yang emnjadi alat penghancur bumi, alat kefasikan dan kemunafikkan, alat dunia lahiriah dengan segala daya tariknya. Ayat ini sekaligus menjadi penghantar bagi “jabatan” kekhalifahan manusia itu sendiri, yang sesungguhnya setiap manusia adalah khalifah. Kekhalifahan hanya bias mawjud manakala seseorang benar-benar menjadi hamba Allah, hamba dalam kefanaan dirinya, fana’ul fana’ dan baqa’ bersama Allah. Itulah bagian dari kekhalifahan sufistik, dimana pelanggaran-pelanggaran atas wilayah ruh yang bersumber dari wilayah amr seringkali dipotong oleh kefasikkan-kefasikan jiwa kita.

Ayat selanjutnya menegaskan :

“Bagaimana kamu bisa kafir kepada Allah, sedangkan kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kami, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkannya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan ?”

“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu dan dia berkehendak menuju langit, lalu dijadika-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”


Sebelum ada kehidupan didunia ini, semula kita ini mati. Lalu dihidupkan kembali oleh Allah SWT. Allah mematikan lagi, lalu menghidupkan lagi akhirat nanti. Kemudian semuanya kita kembali kepada Allah.

Kealpaan manusia untuk kembali kepada Allah semakin ditebalkan oleh hijab dengan ciptaan-ciptaan. Padahal, sesungguhnya ada tujuh lapisan cahaya, tujuh lapisan jiwa dan lapisan-lapisan dalam alam samawat lainnya, yang sangat erat hubungannya dengan makna spiritual. ---(ooo)---

tafsir irfani 5 mukadimah

Dari Imam Ridha yang dikompilasi oleh Fahdl bin Syadzan

Ihdinash shirathul mustaqim, Tunjukilah kami ke jalan yang lurus artinya menurut beliau adalah bimbinglah dengan adab (etika) Allah, berpegang teguh pada tali-Nya, memohon makrifat kepada Allah dengan keagungan-Nya.[1] uyun akbbar ridha dan biharul anwar.

banyak sekali yang mengunyah kata-kata akhlak tapi jarang sekali membicarkan tentang adab (etika), sebenarnya sulit sekali menerjemahkan yang pas dengan adab, ada etika,ethos atau budi pekerti yang luhur, tapi islam memiliki ajaran-ajaran tentang adab yang rasnya dan anehnya tidak dimiliki oleh seornag muslim


saya ingin mengutip sebuah buku tentang adab dari rey shhari yang luar biasa ini


menurut pak jalal






Pengantar Tafsir Sufi

Jalaluddin Rakhma

Tanzil dan Ta’wil

Kami dahulu menyerang kalian karena tanzilnya

Hari ini kami menyerang kalian karena ta’wilnya

Tanzîl: Turunnya Al-Quran

Ta’wîl: Penafsiran Al-Quran






Tafsir

    • Penjelasan tentang Al-Quran dengan merujuk pada keterangan dalam Al-Quran, atau penjelasan dalam hadis, atau pernyataan para sahabat dan tabi’in (tafsir bil ma’tsur); atau dengan berusaha menemukan makna yang tepat melalui penelitian yang benar ( tafsir bi al-ra’y)






Ta’wil

  • Mengalihkan makna yang meragukan atau membingungkan pada makna yang meyakinkan dan menentramkan
    • disingkapkan betis” (Al-Quran 68:42) berarti suasana dahsyat

  • Makna kedua atau makna batiniah, makna yang lebih dalam, di samping makna lahiriah






Tahapan makna Al-Quran

  • Ibārat: buat awam, makna lahiriah saja
  • Isyārat: buat khawash, pemahaman lebih mendalam berdasarkan ilmu dan hati nurani
  • Lathāif: buat awliya, makna yang sangat mendalam, yang hanya bisa diperoleh dengan nur batiniah karena pensucian
  • Haqāiq: buat anbiya, penjelasan yang pasti, kokoh, dan sampai pada tingkat keyakinan


Banyak orang keliru menganalisis seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika atau kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Yang berakar pada filsafat yunani yang bertumpu pada retorika.
Pengertian retorika biasanya kita anggap negatif, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorius lords in the batlle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan.

Y.B. Mangunwijaya



tafsir hadis irfan



hadis juga memiliki signifikasnni barang siapa mencintai allah maka cintailah rasul

Dalam Muqaddimah dan penutupnya buku ini menyimpulkan tidak bisa atau mustahil seseorang bertemu sekaligus berdialog dengan Nabi Muhammad saw (liqa’-al-Nabi), karena beliau sudah wafat sejak tahun 11 Hijriah. Kalaupun bisa, kenapa Nabi Muhammad tidak muncul ketika putri-putri dan sahabat nabi sepeninggal beliau sedang mengahadapi kesulitan dalam masalah waris dan pengumpulan mushaf-mushaf Al-Quran, dan sebagainya, dan mengapa muncul di abad ke-19 M?

Tapi, buku ini menjelaskan secara rinci tentang peristiwa Isra’ Mikraj, Nabi Muhammad saw yang ternyata bisa bertemu sekaligus berdialog dengan Nabi-nabi yang telah mendahuluinya. Seperti Nabi Adam dan sempat berdialog, di langit kedua bertemu Nabi Yahya dan Nabi Isa. Dengan Nabi Isa juga sempat berdialog, kejadian itu terus berlangsung sampai Rasulullah mendapatkan titah perintah salat dari Allah swt.

Sebelum mendapatkan perintah salat lima (5) waktu sehari tersebut beliau sempat bercakap-cakap secara intens dengan Nabi Musa. Dalam percakapan itu Nabi Musa meminta Nabi Muhammad memohon keringanan kepada Allah karena cukup berat bagi umat Muhammad untuk menunaikan salat sebanyak lima puluh (50) kali sehari, hingga akhirnya Allah mengabulkan permohonan beliau dan salat menjadi lima (5) kali sehari. Nabi sendiri sebelum menerima wahyu dalam keadaan terjaga (sadar) beliau menerima wahyu melalui mimpi yang berlangsung selama setengah tahun dan wahyu dalam keadaan sadar selama 23 tahun. Semenjak beliau diutus sampai wafat (h.56).

Oleh sebab itu wajar jika dalam membahas hadist terkait dengan mimpi dengan Nabi, antara ulama hadis dan ulama sufi tidak mencapai titik temu terkait dengan para wali (awliya’) dan para ulama yang mengaku dirinya telah bertemu sekaligus berdialog secara langsung, baik melalui mimpi maupun dalam alam sadar dengan Nabi Muhammad saw. Sehingga benar tidaknya tokoh-tokoh sufi seperti al-Tijani (Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar al-Tijani-lahir di Maghrib, 1150 H/1737 M) yang populer dengan Thariqah Tijaniyah/Muhammadiyah), Abu Hasan al-Syadzili, lahir di Ghamirah, Maroko, 593 H, Ibnu Arabi (Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin al-Arabi al-Ma’arifi, lahir pada 468 H/1076 M dan wafat pada 543 H/1148 M di Seville-juga ahli hadis), yang kedua adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Arabi al-Tha’i al-Hatimi, dilahirkan di Andalusia, 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M di Mursia, Spanyol Tenggara. Dan al-Suhaimi (Muhammad bin Abdullah al-Suhaimi) dilahirkan di Sudagaran, Wonosobo, Jawa Tengah 1259 H. Semuanya mengakui telah bertemu Nabi melalui pengembaraan spiritual (riyadhah al-nafs), terus menjadi perdebatan.

Menurut hadis Nabi, mimpi itu ada tiga macam. :”Mimpi itu ada tiga macam; mimpi yang baik adalah dari Allah, mimpi yang membuat sedih datang dari setan, dan mimpi yang berasal dari bisikan dirinya sendiri”. Dan buku ini membagi mimpi menjadi empat (4) macam: mimpi yang benar-benar menjadi kenyataan (al-ru’ya al-shadiqah al-Muhaqqaqah), mimpi yang baik (al-ru’ya al-shalihah), mimpi berupa bisikan dan berbentuk simbolik (al-ru’ya al-hatifah al-Marmuzah), dan mimpi sebagai peringatan (al-ru’ya al-Muhadzirah).

Kata Ibnu Arabi cahaya ketuhanan itu bisa berupa pengalaman keterbukaan (kasyf). Ia menyebut perolehan kasyf dengan ilmu laduni. Ilmu laduni ini merupakan buah dari ketaatan terhadap Rasulullah saw dalam segala aspeknya, baik ucapan maupun perbuatannya. Bahwa kasyf merupakan metode pengetahuan yang tertinggi. Namun, kritik ulama hadis terhadap Ibnu Arabi, bahwa al-kasyf bisa dikuasai siapa saja seperti diakui para mistisis bahwa pengetahuannya bercampur aduk dengan pengelabuan setan, dan sedikit yang mempunyai kemampuan membedakan antara kasyf syaithani dengan kasyf haqiqi dan tidaklah dinamakan kasyf haqiqi kecuali jika sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.

Yang menjadi pertanyaan kemudian; bagaimana jika hadis-hadis yang dijadikan alasan, hujjah ulama sufi tersebut juga tidak bertentangan, atau sesuai dengan Al-Quran maupun Sunnah? Setidak-tidaknya membaca buku ini bisa menambah pengetahuan sekaligus keyakinan tentang bisa atau tidaknya manusia yang hidup di dunia ini bisa bertemu ataupun berdialog dengan Nabi Muhammad saw, juga dengan para wali, ulama, dan orang tua kita yang telah meninggal dunia, berdasarkan Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad saw





Al-Baqarah 74

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْأَشَدُّ قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الأنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ







فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوتُ

كُلِّ شَيْءٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ










[1] Ilal Syarai :260