Minggu, 05 Agustus 2007

referensi teologi 6

POLEMIK OTENTISITAS GHADIR KHUM

Sebenarnya, antara mazhab Syi`ah dan Sunni tidak ada perbedaan yang mendasar berkenaan dengan keimanan. Di antara kedua mazhab tersebut hanya terjadi ketidaksepakatan seputar dua isu berikut. Pertama, kekhalifahan (kepimimpinan/penerus kekhalifahan) yang diyakini mazhab Syi`ah sebagai hak para imam Ahlulbait; kedua, Hukum Islam ketika tidak ada pernyataan Quran yang jelas serta hadis-hadis yang disepakati mazhab-mazhab Muslim.

Isu kedua berakar dari isu pertama. Syi`ah mengikatkan diri pada Ahlulbait dalam merujuk sunnah Nabi. Mereka melakukan hal. itu sesuai dengan perintah Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan dalam kumpulan hadis Sunni dan Syi`ah yang sahih di samping keterangan Quran mengenai kesucian mereka yang sempurna.

Ketidaksepakatan tentang kekhalifahan seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan di antara kedua mazhab tersebut. Kaum Muslimin sepakat bahwa khalifah Abu Bakar terpilih oleh sejumlah orang terbatas dan merupakan suatu yang mengagetkan bagi sahabat lainnya. Oleh sejumlah orang terbatas, maksudnya mayoritas sahabat-sahabat utama Nabi tidak mengetahui pemilihan ini. Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Utsman bin Affan, Thalhah, Zubair, Sa`d bin Waqqash, Salman Farisi, Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Miqdad, Abdurrahman bin Auf adalah di antara sahabat-sahabat yang tidak diajak berunding bahkan diberitahu. Umar sendiri mengakui bahwa terpilihnya Abu Bakar dilakukan tanpa perundingan dengan kaum Muslimin.1

Di sisi lain, pemilihan menyiratkan satu pilihan dan kebebasan, dan setiap kaum Muslim berhak untuk memilih wakilnya. Siapa saja yang menolak untuk memilih, tidak menentang Allah Swt atau utusan-Nya karena baik Allah maupun utusan-Nya tidak memilih wakil yang terpilih oleh orang-orang.

Penunjukan seseorang, secara fitrah, tidak memaksa siapa pun untuk memilih seorang wakil khusus. Jika tidak, penunjukan tersebut akan bersifat memaksa. Artinya bahwa penunjukan seseorang akan kehilangan fitrahnya dan menjadi tindakan pemaksaan; pernyataan rasul yang sangat terkenal menegaskan 'tidak ada kesetiaan yang sah/benar yang diperoleh atas dasar paksaan.'

Ali bin Abi Thalib menolak memberikan sumpah setianya kepada Abu Bakar selama 6 bulan. Ia memberi sumpah setia kepada Abu Bakar hanya setelah Fathimah Zahra binti Rasulullah, istrinya, wafat 6 bulan kemudian setelah ayahnya wafat.2 Apabila penolakan memberi sumpah setia kepada wakil pilihannya dilarang dalam Islam, Ali tidak akan membiarkan dirinya sendiri untuk menunda memberi sumpah setia. Pada hadis yang sama pada Shahih Bukhari, Ali berkata bahwa ia memiliki hak atas kekhalifahan yang tidak dihargai, dan ia menyesalkan mengapa Abu Bakar tidak mengajaknya berunding dalam memutuskan siapa pengganti kepemimpinan. Ia baru memberi sumpah setianya ketika ia tahu bahwa satu-satunya cara menyelamatkan Islam adalah meninggalkan pengasingan karena penolakannya memberi sumpah setia kepada Abu Bakar.

Selain itu, sahabat-sahabat Rasul terkemuka seperti Abdullah bin Umar dan Sa`d Abi Waqqash menolak memberi sumpah setia kepada Ali pada masa kekhalifahannya.3 Akan tetapi, Ali tidak menghukum sahabat-sahabat ini.

Jika diizinkan bagi seseorang Muslim, yang merupakan khalifah pada zaman itu, untuk menolak memberikan sumpah setia, tentunya lebih diizinkan lagi bagi orang yang yakin pada abad-abad selanjutnya untuk menyakini ataupun tidak kualifikasi khalifah yang terpilih. Hal. ini tidak berdosa, apalagi jika khalifah tersebut tidak ditunjuk oleh Allah Swt.

Syi`ah menyatakan bahwa imam harus ditunjuk oleh Allah Swt; penunjukan tersebut diketahui melalui pernyataan Rasul atau Imam sebelumnya. Mazhab Sunni menyatakan bahwa imam (atau khalifah, istilah yang lebih suka mereka gunakan) dapat ditunjuk atau dipilih oleh khalifah sebelumnya atau dipilih oleh sebuah komite khusus, atau berusaha mendapatkan kekuasaan melalui penaklukan militer (seperti Muawiyah).

Para ulama Syi`ah menyatakan bahwa imam yang dipilih Allah, bebas dari dosa, dan Allah tidak menganugerahkan kedudukan tersebut kepada orang yang berdosa. Sedangkan para ulama Sunni (termasuk juga Mu`tazilah) menyatakan bahwa seorang imam dapat berdosa karena ia ditunjuk bukan oleh Allah. Meskipun ia seorang pemimpin zalim dan tenggelam dalam dosa (seperti halnya Muawiyah dan Yazid), mayoritas ulama dari mazhab Hanbali, Syafi`i dan Maliki melarang untuk mengangkat khalifah seperti itu. Mereka berpendapat bahwa mereka harus dilindungi, meski tidak setuju dengan perbuatan jahat.

Syi`ah menyatakan bahwa imam harus memiliki kualitas-kualitas melebihi semua kualitas seperti berilmu, berani, adil, bijaksana, saleh, mencintai Allah, dan lain-lain. Ulama-ulama Sunni menyatakan bahwa hal. tersebut tidak perlu. Seseorang yang kualitasnya di bawah kualitas-kualitas tadi lebih baik dipilih daripada orang yang memiliki kualitas-kualitas yang sangat tinggi.

Di tahun ini, kamis, 18 Mei 1995 adalah tahun yang bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijjah, peringatan peristiwa Ghadir Khum, di mana utusan Allah menyampaikan khutbah terakhirnya. Hadis yang paling mutawatir dalam sejarah Islam menceritakan khutbah terakhir Nabi Muhammad ini.

Haji Perpisahan

Sepuluh tahun setelah hijrah, Rasulullah memerintahkan pengikut-pengikut setianya untuk memanggil semua orang dari berbagai penjuru untuk bergabung dengannya pada haji terakhir. Pada ibadah haji kali ini ia mengajarkan mereka bagaimana melaksanakan ibadah haji yang benar dan yang lengkap.

Itulah kali pertama kaum Muslimin yang berjumlah banyak sekali berkumpul di suatu tempat di hadapan pemimpin mereka, Nabi Muhammad saw. Dalam perjalanan menuju Mekkah, lebih dari 70 ribu manusia mengikuti Nabi Muhammad saw. Pada hari keempat bulan Dzulhijjah lebih dari 100 ribu kaum Muslimin memasuki kota Mekkah.

Peristiwa Turunnya Surah al-Maidah Ayat 67

Pada tanggal 18 Dzulhijjah, usai melaksanakan haji terakhirnya (hajj al-wada), Nabi Muhammad saw pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah, di mana ia dan kumpulan kaum Muslimin sampai pada satu tempat bernama Ghadir Khum (yang saat ini dekat dengan Juhfah). Itulah tempat di mana orang-orang dari berbagai penjuru saling menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil jalan yang berbeda-beda. Di tempat inilah turun ayat Quran:

Hai, Rasulullah! Sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu; dan engkau tidak menyampaikan ayat-ayatnya (sama sekali) dan Allah akan melindungimu dari orang-orang… (QS. al-Maidah : 67).4

Kalimat terakhir ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sadar akan reaksi orang-orang ketika menyampaikan ayat tersebut tetapi Allah menyatakan padanya agar ia tidak takut, karena Allah akan melindungi utusannya dari orang-orang.

Khutbah Nabi Muhammad saw

Usai menerima ayat di atas, Nabi Muhammad saw berhenti di suatu tempat (telaga Khum) yang sangat panas. Lalu ia memerintahkan semua orang yang telah berada jauh di depan, untuk kembali dan menunggu hingga para jemaah haji yang tertinggal di belakang tiba dan berkumpul. Ia menyuruh Salman untuk membuat mimbar tinggi dari batu-batu dan pelana unta agar ia bisa menyampaikan khutbah. Saat itu siang terik pada awal musim gugur, dan karena begitu panasnya lembah tersebut, orang-orang menutupkan kain-kain di sekeliling kaki-kaki mereka, dan duduk melingkari mimbar, di atas batu-batu yang panas.

Pada hari itu, Nabi Muhammad saw menghabiskan waktu kira-kira 5 jam di tempat itu dan tiga jam berdiri di atas mimbar. Dalam khutbahnya, ia membacakan ayat hampir berjumlah 100 ayat Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali mengingatkan perbuatan serta masa depan mereka di kemudian hari. Berikut ini adalah satu bagian khutbahnya yang telah banyak diriwayatkan oleh ahli hadis Sunni.

Nabi Muhammad menyatakan: “Tampaknya, waktu semakin mendekat saat aku akan dipanggil (Allah) dan aku akan memenuhi panggilan itu. Aku meniggalkan kepada kalian 2 hal. yang berharga dan jika kalian setia padanya, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Dua hal. itu adalah kitab Allah dan keluargaku, Ahlulbait. keduanya tidak akan berpisah hingga mereka bertemu denganku di telaga (surga).

Nabi Muhammad melanjutkan: “Apakah aku lebih berhak atas orang-orang beriman dari pada diri mereka sendiri?” Orang-orang berseru dan menjawab: “Ya Rasulullah.” Kemudian Nabi mengangkat lengan Ali dan berseru: “Barangsiapa yang mengangkat aku sebagai pemimpin (maula), maka Ali adalah pemimpinnya (maula). Ya, Allah cintailah mereka yang mencintai Ali, dan musuhilah mereka yang memusuhinya.”5

Peristiwa Turunnya Surah al-Maidah Ayat 3

Usai menyampaikan khutbahnya, ayat Quran berikut diturunkan. “Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu dan aku sempurnakan nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Maidah: 3).6 Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa Islam, jika belum disampaikan persoalan mengenai kepemimpinan setelah Nabi Muhammad saw, belumlah sempurna, dan sempurnanya agama Islam adalah karena pemberitahuan dari Nabi mengenai pengganti/penerusnya.

Usai khutbah, Rasulullah meminta kepada setiap orang untuk memberi sumpah setianya kepada Ali dan memberi ucapan selamat kepadanya. Di antara mereka yang memberi sumpah setia adalah Umar, Abu Bakar dan Utsman. Diriwayatkan bahwa Umar dan Abu Bakar berkata, “Selamat bin Abi Thalib! Sekarang engkau menjadi pemimpin (maula) semua orang beriman baik laki dan perempuan.”7

Saksi Peristiwa Ghadir Khum

Adalah kehendak Allah yang menjadikan hadis ini sangat terkenal dan diriwayatkan melalui mulut-mulut para perawi dan berkelanjutan. Oleh karenanya, terdapat bukti yang kokoh mengenai pemimpin pemberi petunjuk (semoga rahmat senantiasa atasnya). Allah memerintahkan rasul-Nya untuk memberitahukan di saat orang banyak berkumpul sehingga semua orang menjadi penyampai hadis. Saat itu orang-orang berjumlah lebih dari 100 orang.

Diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam bahwa Abu Thufail berkata: "Aku mendengarnya dari Rasulullah, dan tiada seorang pun (di sana) kecuali ia melihatnya dengan matanya dan mendengarnya dengan telinganya.”8

Diriwayatkan pula bahwa: “Rasulullah berseru dengan suara yang sangat keras.”9

“Bersama Rasul saat itu para sahabat Nabi, penduduk Arab, penduduk di sekitar Mekkah dan Madinah berjumlah 20 ribu orang dan mereka adalah orang-orang yang hadir pada haji perpisahan dan mendengarkan khutbahnya.”10

Peristiwa Turunnya Surah al-Ma`arij Ayat 1-3

Beberapa ahli tafsir Sunni berpendapat bahwa tiga ayat pertama, surah al-Ma`arij turun ketika perdebatan merebak dan setelah Rasul sampai di Madinah. Diriwayatkan bahwa pada hari Ghadir, Rasulullah mengumpulkan orang-orang sambil di hadapan Ali dan berkata: Ali adalah Maula orang-orang yang mengangkatku sebagai Maulanya." Berita ini menyebar cepat di seluruh desa dan kota-kota. Ketika Haris bin Nu`man Fahri (atau Nadhr bin Harith menurut hadis lain) mengetahui berita ini, ia memacu untanya dan sampai di kota Madinah. Ia menemui Nabi Muhammad dan berkata padanya:

“Engkau memerintahkan kami untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, kami mematuhimu. Engkau memerintahkan kami untuk shalat 5 waktu, kami pun mematuhimu. Ketika engkau memerintahkan kami lagi untuk berpuasa pada bulan Ramadhan, kami pun menaatimu. Kemudian engkau memerintahkan kami untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah, kami tetap menaatimu. Akan tetapi engkau belum puas dengan semua ini dan engkau angkat sepupumu dengan tanganmu dan menjadikannya pemimpin kami dengan berkata, Ali adalah Maula orang-orang yang menganggapku sebagai Maulanya. Apakah ini keputusan yang berasal darimu atau dari Allah?" Nabi Muhammad menjawab: “Demi Allah yang merupakan satu-satunya Tuhan! Ini berasal dari Allah yang Maha Tinggi dan Maha Besar.”

Setelah mendengar hal ini ia kembali dan menuju untanya sambil berkata, “Ya Allah! Sekiranya apa yang dikatakan Muhammad itu benar, lemparkanlah kami sebuah batu dari langit dan timpakanlah kepada kami siksa-Mu yang amat pedih.”

Belum sampai ia mendekati unta betinanya, Allah Yang Maha Suci, melemparkan sebuah batu yang mengenai ubun-ubun, lalu masuk menebus tubuh, dan keluar melalui bagian bawahnya, hingga akhirnya ia meninggal. Pada peristiwa itulah, Allah, Yang Mahatinggi, menurunkan ayat berikut: “Seorang penanya bertanya tentang kedatangan azab. Bagi orang-orang kafir tiada sesuatu pun yang dapat mencegahnya dari Allah, Penguasa tempat-tempat yang tinggi." (QS. al-Ma`arij :1-3).11

Peristiwa Saat Imam Ali mengingatkan Orang-orang tentang Hadis Nabi

Imam Ali, secara pribadi, mengingatkan orang-orang yang menyaksikan peristiwa di Ghadir Khum dan hadis dari Nabi Muhammad saw. Beberapa peristiwa saat Imam mengingatkan mereka adalah sebagai berikut.

Pada hari Syura (pengangkatan Utsman menjadi khalifah);

Pada masa kekhalifahan Utsman;

Di Hari Rahbah (tahun 35) di mana 24 sahabat berdiri dan bersaksi bahwa mereka hadir dan mendengar langsung hadis Nabi, 12 orang di antara mereka adalah pejuang Badar;

Pada Perang Jamal (tahun 36), saat ia mengingatkan Thalhah;

Berkenaan dengan Perang Unta, Hakim dan Ahmad bin Hanbal serta yang lain menceritakan: "Kami berada di tengah tenda Ali pada saat perang Jamal, saat Ali meminta Thalhah berbicara dengannya (sebelum dimulai perang Jamal). Thalhah mendekat, dan Ali berkata: 'Demi Allah, aku bertanya padamu! Tidakkah engkau mendengar Rasulullah tatkala ia berkata: 'Barangsiapa yang mengangkatku sebagai Maula maka Ali adalah Maulanya. Ya Allah, cintailah orang-orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya?” Thalhah menjawab: ”Ya.” Ali berkata: “Lalu mengapa engkau ingin memerangiku?”12

Ahmad bin Hanbal mencatat dalam Musnad-nya bahwa Abu Thufail meriwayatkan bahwa Ali mengumpulkan orang-orang di dataran Rahbah (pada tahun 35 H) dan bertanya kepada laki-laki Muslim yang hadir di situ yang mendengar pernyataan Rasulullah mengenai Ghadir untuk berdiri dan bersaksi bahwa mereka mendengar dari Rasulullah pada hari Ghadir. Sebanyak 30 orang berdiri dan memberi bukti bahwa Nabi Muhammad mengangkat lengan Ali dan berseru pada orang yang hadir: “Ia (Ali) memiliki hak atas orang-orang yang yakin bahwa aku memiliki hak atas jiwa-jiwa mereka. Ya, Allah cintailah orang-orang yang mencintainya dan musuh orang-orang yang memusuhinya!” Abu Thufail berkata bahwa Ali meninggalkan dataran itu dalam keadaan terguncang karena kaum Muslim tidak menaati hadis tersebut. Lalu ia memanggil Zaid bin Aqram dan mengatakan apa yang ia dengar dari Ali. Zaid berkata padanya untuk tidak ragu sedikit pun mengenai hadis tersebut karena ia telah mendengar langsung bahwa Rasulullah bersabda demikian.13

Selain itu juga Abdurrahman bin Abu Lailah berkata, "Aku menyaksikan Ali meminta sumpah kepada orang-orang di dataran Rahbah. Ali berkata, 'Aku meminta kepada kalian atas nama Allah yang mendengar utusan Allah pada hari Ghadir berkata, “Ali adalah Maula orang-orang yang mewalikanku, untuk berdiri dan memberi saksi, orang-orang yang tidak menyaksikan tidak perlu berdiri.”' Duabelas orang sahabat yang terlibat pada perang Badar berdiri. Peristiwa tersebut masih segar dalam ingatan.14

Diriwayatkan pula bahwa ketika Ali berkata kepada Anas: ”Mengapa engkau tidak berdiri dan memberi kesaksian atas apa yang engkau dengar dari Rasulullah pada hari Ghadir?” Ia menjawab, ”Ya Amirul Mukminin! Aku semakin tua dan aku tidak ingat.” Kemudian Ali berkata: “Semoga Allah memberimu tanda bintik putih yang tidak dapat engkau tutupi dengan serbanmu, jika secara sengaja engkau menyembunyikan kebenaran." Sebelum beranjak dari tempatnya, Anas memiliki tanda putih di wajahnya. Setelah itu ia selalu berkata, “Aku terkena kutuk hamba Allah yang saleh.”15

Khutbah lengkap Nabi Muhammad di Ghadir Khum

Nabi Muhammad saw berkata:

“Puji-pujian hanya milik Allah. Kami memohon pertolongan, dan keyakinan, serta kepada-Nyalah kami beriman. Kami mohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa-jiwa kita dan dosa-dosa perbuatan kita. Sesungguhnya tiada petunjuk bagi seseorang yang telah Allah sesatkan, dan tiada seorang pun yang sesat setelah Allah beri petunjuk baginya.”

“Hai, kaum Muslimin! ketahuilah bahwa Jibril sering datang padaku membawa perintah dari Allah, yang Maha Pemurah, bahwa aku harus berhenti di tempat ini dan memberitahukan kepada kalian suatu hal. Lihatlah! Seakan-akan waktu semakin dekat saat aku akan dipanggil (oleh Allah) dan aku akan menyambut panggilannya.”

"Hai, Kaum Muslimin! Apakah kalian bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba serta utusan-Nya. Surga adalah benar, neraka adalah benar, kematian adalah benar, kebangkitan pun benar, dan 'hari' itu pasti akan tiba, dan Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya?" Mereka menjawab: “Ya, kami meyakininya.”

Ia melanjutkan: "Hai, kaum Muslimin! Apakah kalian mendengar jelas suaraku?” Mereka menjawab: “Ya.” Rasul berkata: “Dengarlah! Aku tinggalkan bagi kalian 2 hal. paling berharga dan simbol penting yang jika kalian setia pada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat sepeninggalku. Salah satunya memiliki nilai yang lebih tinggi dari yang lain.”

Orang-orang bertanya: “Ya, Rasulullah, apakah dua hal. yang amat berharga itu?”

Rasulullah menjawab: “Salah satunya adalah kitab Allah dan lainnya adalah Itrah Ahlulbaitku (keluargaku). Berhati-hatilah kalian dalam memperlakukan mereka ketika aku sudah tidak berada di antara kalian, karena, Allah, Yang Maha Pengasih, telah memberitahukanku bahwa dua hal. ini (Quran dan Ahlulbaitku) tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka bertemu denganku di telaga (al-Kautsar). Aku peringatkan kalian, atas nama Allah mengenai Ahlulbaitku. Aku peringatkan kalian atas nama Allah, mengenai Ahlulbaitku. Sekali lagi! Aku peringatkan kalian, atas nama Allah tentang Ahlulbaitku!”

“Dengarlah! Aku adalah penghulu surga dan aku akan menjadi saksi atas kalian maka barhati-hatilah kalian memperlakukan dua hal. yang sangat berharga itu sepeninggalanku. Janganlah kalian mendahului mereka karena kalian akan binasa, dan jangan pula engkau jauh dari mereka karena kalian akan binasa!”

“Hai, kaum Muslimin! Tahukah kalian bahwa aku memiliki hak atas kalian lebih dari pada diri kalian sendiri?" Orang-orang berseru: “Ya, Rasulullah.” Lalu Rasul mengulangi: ”Hai, kaum Muslimin? Bukankah aku memiliki hak atas kaum beriman lebih dari pada diri mereka sendiri?” Mereka berkata lagi: “Ya, Rasulullah.” Kemudian Rasul berkata: "Hai, kaum Muslimin! Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan aku adalah Maula semua orang-orang beriman," Lalu ia merengkuh tangan Ali dan mengangkatnya ke atas. Ia berseru:

“Barangsiapa mengangkatku sebagai Maula, maka Ali adalah Maulanya pula (ia mengulang sampai tiga kali) Ya, Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah orang-orang yang menyelamatkannya, dan jagalah kebenaran dalam dirinya ke mana pun ia berpaling! (artinya, jadikan ia pusat kebenaran).

Ali adalah putra Abu Thalib, saudaraku, Washi-ku, dan penggantiku (khalifah) dan pemimpin sesudahku. Kedudukannya bagiku bagaikan kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Ia adalah pemimpin kalian setelah Allah dan Utusan-Nya.”

“Hai, kaum Muslimin! Sesungguhnya Allah telah menunjuk dia menjadi pemimpin kalian. Ketaatan padanya wajib bagi seluruh kaum Muhajirin dan kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan; dan penduduk kota dan kaum pengembara, orang-orang Arab dan orang-orang bukan Arab, para majikan dan budak, orang-orang tua dan muda, besar dan kecil, putih dan hitam.”

“Perintahnya harus kalian taati, dan kata-katanya mengikat serta perintahnya menjadi kewajiban bagi setiap orang yang meyakini Tuhan yang satu. Terkutuklah orang-orang yang tidak mematuhinya, dan terpujilah orang-orang yang mengikutinya, dan orang-orang yang percaya kepadanya adalah sebenar-benarnya orang beriman. Wilayahnya (keyakinan kepada kepemimpinannya) telah Allah, Yang Mahakuasa dan Mahatinggi, wajibkan.”

“Hai kaum Muslimin, pelajarilah Quran! Terapkanlah ayat-ayat yang jelas maknanya bagi kalian dan janganlah kalian mengira-ngira ayat-ayat yang bermakna ganda! Karena, Demi Allah, tiada seorang pun yang dapat menjelaskan ayat-ayat secara benar akan makna serta peringatannya kecuali aku dan lelaki ini (Ali), yang telah aku angkat tangannya ini di hadapan diriku sendiri.”

“Hai kaum Muslimin, inilah terakhir kalinya aku berdiri di mimbar ini. Oleh karenanya, dengarkan aku dan taatilah dan serahkan diri kalian kepada kehendak Allah. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan kalian. Setelah Allah, Rasulnya, Muhammad yang sedang berbicara kepada kalian, adalah pemimpin kalian. Selanjutnya sepeninggalku, Ali adalah pemimpin kalian dan Imam kalian atas perintah Allah. Kemudian setelahnya kepemimpinan akan dilanjutkan oleh orang-orang yang terpilih dalam keluargaku hingga kalian bertemu Allah dan Rasulnya.”

“Lihatlah, sesungguhnya, kalian akan menemui Tuhanmu dan ia akan bertanya tentang perbuatan kalian. Hati-hatilah! Janganlah kalian berpaling sepeninggalku, saling menikam dari belakang! Perhatikanlah! Adalah wajib bagi orang-orang yang hadir saat ini untuk menyampaikan apa yang aku katakan kepada mereka yang tak hadir karena orang-orang yang terpelajar akan lebih memahami hal. ini daripada beberapa orang yang hadir dari saat ini. Dengarlah! Sudahkah aku sampaikan ayat Allah kepada kalian? Sudahkah aku sampaikan pesan Allah kepada kalian?” Semua orang menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi Muhammad berkata, “Ya, Allah, saksikanlah.”16

Pengertian Wali, Maula dan Wilayah

Tidak ada seorang ulama Muslim mana pun pernah ragu tentang sejarah hadis Ghadir Khum, karena hadis ini telah diriwayatkan oleh perawi dari mazhhab Sunni sendiri sebanyak 150 perawi yang shahih. Sebuah riwayat yang mutawatir adalah sesuatu yang diriwayatkan tanpa putus dan secara bebas oleh begitu banyak orang sehingga tiada keraguan sedikitpun terbetik tentang kesahihannya. Bahkan murid-murid Ibnu Taimiyah seperti Dzahabi dan Ibnu Katsir yang telah memperlihatkan kebenciannya kepada Syi`ah, menegaskan bahwa hadis Ghadir Khum itu mutawatir dan otentik (shahih). Akan tetapi, ada orang-orang yang berusaha menafsirkan hadis ini dengan cara lain. Mereka secara khusus berusaha menerjemahkan kata wali (pemimpin/penjaga), 'maula' (pemimpin/pembimbing) dan 'wilayah' (kepemimpinan/penjaga/bimbingan) dengan artian sahabat dan persahabatan.

Kamus memberi 20 makna untuk istilah bahasa Arab, wali, bergantung pada konteks, sebagian besar maknanya berkaitan dengan arti kepemimpinan atau perwalian. Hanya satu contoh saja yang maknanya dapat berarti seorang sahabat.17

Beberapa orang mengemukakan bahwa sesuatu yang benar-benar ingin Rasulullah saw katakan adalah “Barangsiapa yang mengangkatku sebagai sahabat, Ali adalah sahabatnya pula.”

Tiada keraguan sedikitpun bahwa Ali memiliki kedudukan yang sangat tinggi di bandingkan orang lain. Ia laki-laki pertama yang memeluk Islam. Ia mendapat panggilan 'saudara' Rasul. Ialah yang oleh Nabi Muhammad dinyatakan, “Mencintai Ali adalah bukti keimanan dan memusuhi Ali adalah bukti kemunafikan.” Oleh karenanya, nampak tidak logis, Rasul menahan lebih dari seratus ribu orang di tempat yang sangat tak tertahankan panasnya, dan membuat mereka menunggu dalam keadaan demikian hingga orang-orang yang masih berada di belakang tiba di tempat itu, dan kemudian menyampaikan bahwa, Ali adalah sahabat orang-orang beriman.

Lebih jauh lagi, bagaimana kita membenarkan turunnya surah al-Maidah ayat 67 yang diturunkan sebelum khutbah Nabi:

Hai Rasulullah, sampaikanlah apa yang telah di turunkan kepadamu dari Tuhanmu; Jika engkau tidak melakukannya, engkau tidak menyampaikan sama sekali ayat-ayat-Nya; Dan Allah akan melindungi engkau dari orang-orang.

Masuk akalkah untuk menyatakan bahwa ketika Allah memperingatkan Nabi Muhammad saw dianggap telah menyia-nyiakan apa yang telah ia perjuangkan apabila ia tidak menyampaikan pesan 'sahabat Ali'? Dan bahaya apa yang Nabi Muhammad bayangkan jika ia menyatakan Ali adalah sahabat kaum beriman? Menurut ayat tersebut di atas, bahaya apa yang akan muncul dari orang-orang?

Lebih jauh, bagaimana kalimat Ali adalah sahabat orang-orang beriman' dapat menyempurnakan agama Islam? Apakah ayat mengenai kesempurnaan agama Islam (QS. al-Maidah : 3) yang turun setelah Rasul berkhutbah menyiratkan bahwa tanpa berkata: “Ali adalah sahabat orang-orang beriman,” maka agama Islam belum sempurna?

Selain itu, sebagaimana yang kami kutip pada bagian pertama, Umar dan Abu Bakar memberi ucapan selamat kepada Ali, dengan berkata: “Selamat, wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau menjadi Maula seluruh orang-orang beriman baik laki-laki maupun perempuan." Apabila, kata 'maula' di sini bermakna sahabat, mengapa ada ucapan selamat? Apakah Ali musuh orang-orang beriman sebelum saat itu sehingga Umar berkata bahwa saat ini engkau 'menjadi' sahabat mereka?

Sebenarnya, setiap wali adalah seorang sahabat, namun seorang sahabat belum tentu seorang wali. Itulah mengapa orang-orang Arab menggunakan kata-kata wali al-Amr untuk sebutan penguasa, yang artinya pemimpin atas segala urusan. Maka logisnya, kata 'maula' tidak dapat diartikan sebagai sahabat, dan kita harus menggunakan kata lain yang sering digunakan, yakni pemimpin dan wali.

Mungkin orang akan bertanya mengapa Nabi Muhammad saw tidak menggunakan kata lain untuk lebih menjelaskan maksudnya. Sebenarnya, orang saat itu pun bertanya padanya dengan pertanyaan yang sama. Riwayat berikut ini merupakan jawaban Nabi Muhammad saw:

Ketika Rasulullah ditanya mengenai arti dari kalimat: “Barangsiapa yang mengangkat aku sebagai Maulanya, Ali adalah Maulanya pula.” Ia menjawab: “Allah adalah Maulaku. Ia lebih berhak dari atas diriku sendiri dan aku tidak membantah-Nya. Aku adalah Maula orang-orang beriman. Aku lebih berhak daripada diri mereka sendiri dan mereka tidak membantahku. Maka, barangsiapa yang mengangkatku sebagai maulanya, aku lebih berhak daripada diri mereka dan tidak membantahku, Ali adalah maulanya, dan ia berhak atas diri mereka dari pada diri mereka sendiri dan ia tidak membantahnya.”18

Selama masa kekhalifahan Utsman, Ali memprotes dengan mengingatkan orang-orang kepada hadis Nabi. Demikian juga, ia mengingatkan mereka kembali pada perang Shiffin. Ketika Rasulullah berbicara… (hadis Ghadir), Salman berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah, apa artinya walaa, dan bagaimana?" Rasul menjawab, "Walaa artinya aku adalah Wali (wala'un kawala'i). Barangsiapa menganggapku sebagai maulanya, aku lebih berhak atas dirinya dan pada dirinya sendiri, dan Ali lebih berhak atas dirinya daripada dirinya sendiri."19

Ali bin Abi Thalib ditanya tentang ucapan Nabi Muhammad, “Barangsiapa mengangkatku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya.” Ia menjawab, “Ia mengangkatku menjadi pemimpin ('alaman). Pada saat aku menjadi pemimpin, siapa saja yang menentangku maka ia telah tersesat (tersesat dalam agamanya)."20

Pada tafsiran ayat: "Dan hentikanlah mereka, mereka harus ditanya" (QS. as-Shaffat : 24), Dailami meriwayatkan bahwa Abu Sa`id Khudri berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Dan hentikanlah mereka, mereka akan ditanya mengenai wilayah Ali.” Selain itu, Hafizh Wahidi menafsirkan ayat di atas: “Wilayah yang Rasulullah serahkan kepada Ali akan ditanyakan pada hari pembalasan." Dinyatakan bahwa wilayah-lah yang Allah maksud dalam Surah as-Shaffat ayat 24, 'Dan hentikanlah mereka, mereka harus ditanya'. Artinya bahwa mereka akan ditanya tentang wilayah Ali, apakah mereka benar-benar menerimanya sebagai wali mereka sebagaimana yang Nabi Muhammad perintahkan kepada mereka atau apakah mereka akan berpaling darinya?21

Para penafsir Quran yang tidak tehitung jumlahnya, ahli bahasa Arab, dan ahli sastra, telah menafsirkan arti kata 'maula' dengan aula yang artinya memiliki kekuasaan yang lebih banyak.22

Dengan demikian kata 'wali' atau 'maula' dalam hadis Ghadir Khum artinya bukan sahabat, tetapi pemimpin dan wali yang memiliki banyak hak atas orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad. “Bukankah aku memiliki hak atas orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri?” Sedikitnya 64 perawi hadis Sunni telah mengutip pernyataan Nabi Muhammad tersebut, di antara mereka adalah Turmudzi, Nasa`i, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal. Oleh karenanya pendapat para ulama Sunni di atas sesuai dengan apa yang Nabi Muhammad katakan dengan kata 'aula' sebelum kata 'maula'.

Sebenarnya, ketika sebuah kata memiliki makna lebih dari satu, cara terbaik mencari konotasinya yang benar adalah memperhatikan hubungannya (qariah) dengan konteksnya. Kata awala (mempunyai banyak kekuasaan) yang digunakan Nabi Muhammad memberikan sebuah konotasi yang baik untuk kata 'maula'.

Selain itu, doa Rasulullah yang ia panjatkan setelah ia menyampaikan berita: ”Ya Allah, cintailah orang-orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah mereka yang membantunya dan tinggalkanlah mereka yang meninggalkannya!” Menunjukkan bahwa Ali pada saat itu diberi tanggung jawab kepemimpinan yang secara alami, akan ada orang-orang yang memusuhinya, dan dalam memikul tanggung jawab, ia membutuhkan orang yang membantu dan mendukungnya. Apakah orang yang membantunya perlu dilakukan atas nama 'persahabatan'?

Lebih jauh lagi, pernyataan Rasulullah: “Nampaknya waktu kian dekat saat aku akan di panggil (Allah) dan aku menyambut panggilan itu.” Dengan jelas menunjukkan bahwa ia membuat rencana tentang siapa pengganti kepemimpinan bagi kaum Muslimin sepeninggalnya.

Dan pernyataan Nabi yang ia ulang dua kali, “Dengarlah! Bukankah telah aku sampaikan kepada kalian pesan Allah?" atau “Wajiblah bagi setiap orang yang hadir saat ini untuk memberitakan kepada orang-orang yang tidak hadir karena mereka mungkin lebih memahami daripada orang-orang yang hadir”; menunjukkan bahwa Nabi tengah menyampaikan pesan yang sangat penting yang akan ia sampaikan pada generasi mendatang. Hal. ini tentu artinya bukan sekadar sahabat.

Perlu disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw menggunakan istilah khalifah dalam khutbahnya di Ghadir khum, tetapi kata ini tidak muncul pada mayoritas catatan Sunni karena tidak ada cara merusak makna kata tersebut. Namun Nabi Muhammad juga menggunakan kata maula dalam khutbahnya untuk menghidupkan peristiwa ini agar tidak dihapuskan dari catatan sejarah tanpa meninggalkan jejak.

Menariknya, kata 'wali' dan 'maula' juga sering di gunakan dalam Quran dengan arti pemimpin atau wali, contohnya Quran menyatakan: “Allah adalah wali orang-orang yang beriman; ia mengeluarkan mereka dari kegelapan (dan membawa mereka) kepada cahaya" (QS. al-Baqarah : 257).

Ayat di atas mengandung maksud bahwa sahabat Allah hanyalah orang-orang beriman, karena sahabat saja tidak memiliki hak untuk membawa seseorang kepada cahaya. Allah adalah pemimpin orang-orang beriman dan itulah mengapa Ia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dalam ayat lain Allah bersabda: “Sesungguhnya Aulia Allah tidak memiliki rasa takut ataupun duka cita" (QS. Yunus : 62).

Kata aulia adalah bentuk jamak dari kata wali. Ayat di atas tidak berarti bahwa siapa pun yang menjadi sahabat Allah tidak merasa takut. Banyak kaum Muslimin yang merasa takut pada beberapa kejadian dalam hidup mereka padahal mereka bukan musuh Allah. Dengan demikian ayat di atas memberi arti tidak sekadar sahabat. Pada ayat ini, kata 'wali' adalah bentuk fa`il dengan makna maf`ul. Oleh karenanya ayat di atas bermakna: “Orang-orang yang wali serta pemimpin urusan mereka adalah Allah, mereka tidak merasa takut dan berduka cita. Jika seorang beriman secara total menyerahkan diri pada Allah, ia tidak akan merasa takut sedikit pun. Akan tetapi, orang beriman umumnya yang penyerahan dirinya tidak sempurna mungkin akan merasa takut akan hal. ini atau hal. itu, padahal mereka masih sahabat-sahabat Allah. Meskipun demikian, Allah menggunakan kata aulia dalam arti yang umum, yaitu 'pelindung'. Quran menyatakan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah awliya satu sama lainnya, mereka saling menganjurkan berbuat baik dan melarang berbuat jahat." (QS. at-Taubah : 71).

Melihat terjemahan yang berbeda-beda, orang dapat menemukan bahwa mereka menggunakan kata 'pelindung' untuk makna 'aulia'. Ayat tadi tidak ingin menyatakan bahwa orang-orang beriman adalah sahabat-sahabat yang saling berbuat baik. Akan tetapi maknanya adalah bahwa orang-orang beriman berkewajiban dan satu sama lain dibebani urusan satu sama lain. Akibat kewajiban ini mereka saling menganjurkan untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat sebagaimana yang di nyatakan dalam ayat di atas. Pada ayat ini, maka makna 'aulia' meski lebih tinggi dari 'sahabat', akan tetapi jelas-jelas lebih rendah daripada makna 'pemimpin' dan 'wali'. Makna 'aulia' pada ayat ini digunakan dalam arti yang luas. Tetapi makna khusus wali dapat dilihat pada ayat berikut. "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-nya, dan orang-orang yang beriman, yang menjaga shalatnya dan menunaikan zakat ketika mereka dalam keadaan ruku” (QS. al-Maidah : 55).

Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa tidak semua orang-orang beriman adalah wali kita dengan makna khusus dalam ayat ini yang bermakna pemimpin atau petunjuk. Pada ayat ini pula, wali di sini jelas-jelas bukan berarti sahabat yang benar, karena semua orang-orang beriman satu sama lain merupakan sahabat. Ayat di atas menyebutkan bahwa hanya 3 hal. yang merupakan wali khusus kalian: Allah, Nabi Muhammad dan Imam Ali, satu-satunya orang pada zaman Rasul yang memberi sedekah ketika ia dalam keadaan ruku. Para ulama sepakat dalam meriwayatkan peristiwa ini.23

Mengeluarkan zakat sambil ruku bukan sunnah. Hal. ini disepakati oleh semua ulama Muslim. Dengan demikian ayat di atas tidak menetapkan pentingnya membayar zakat pada saat ruku, ataupun menjadikannya tugas atau sesuatu yang dianjurkan secara sah dalam Islam sebagai hukum Ilahi (syariat). Akan tetapi, peristiwa tersebut merupakan rujukan sebuah perbuatan yang terjadi ketika seseorang memberi sesuatu di dunia eksternal, dan Quran menunjukkan perbuatan tersebut untuk memperlihatkan orangnya. Secara tidak langsung, ayat tersebut ingin menyampaikan bahwa wali di sini merupakan wali khusus yang kuasanya telah disejajarkan dengan kuasa Nabi Muhammad karena mereka disebutkan berkaitan.

Orang mungkin berkeberatan, bahwa meskipun Ali yang melakukan perbuatan tersebut, ayat tersebut mungkin melibatkan beberapa orang lain karena ayat tersebut menggunakan bentuk jamak. Pertama, sejarah menceritakan kepada kita bahwa tidak ada seorang pun yang melakukan hal. ini ketika Rasul masih ada. Kedua, cara Quran menggunakan bentuk jamak untuk merujuk hanya pada satu orang yang melakukan perbuatan yang khusus, merupakan hal. yang biasa dalam Quran. Contohnya, Allah menyebutkan: “Mereka berkata: 'Jika kami kembali ke Madinah, orang yang kuat akan segera mengusir orang-orang yang lemah'” (QS. al-Munafiqun : 8). Pada ayat ini Quran merujuk sebuah kisah yang terjadi dengan menggunakan frase 'mereka berkata' dan orang yang mengucapkan kalimat tersebut adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.

Quran berusaha semaksimal mungkin menghindari menyebutkan nama seseorang. Hal. ini di lakukan karena berbagai alasan. Contohnya agar kitab ini menjadi kitab yang universal, terhindar dari kemungkinan untuk diubah oleh orang-orang yang membenci orang-orang tertentu yang telah dipuji Quran atau oleh orang yang mencintai seseorang yang telah dicela dalam Quran.

Menggunakan bentuk jamak untuk menunjuk bentuk tunggal, memiliki kegunaan lain. Kadang-kadang perbuatan seseorang lebih mulia daripada perbuatan orang seluruh negeri. Hal. ini terjadi seperti halnya Nabi Muhammad, Imam Ali dan juga Nabi Ibrahim. Quran menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim as adalah sebuah negeri (ummah), yang artinya perbuatannya lebih mulia daripada perbuatan semua orang. Allah berfirman: “Lihatlah! Ibrahim adalah sebuah negeri (ummah) yang tunduk kepada Allah, jujur, dan ia bukan tergolong orang musyrik." (QS. Nahl : 120).

Sahabat Nabi terkemuka, Ibnu Abbas berkata: “Tidak ada ayat Quran di mana istilah 'orang-orang beriman' disebut kecuali bagi Ali sebagai pemimpin mereka dan lebih baik di antara mereka. Sesungguhnya Allah menegur sahabat-sahabat Nabi dalam Quran, tetapi Ia tidak menyebut kepada Ali kecuali dengan hormat.24

Lebih jauh, bin Abbas berkata: “Tidak diturunkan ayat dalam kitab Allah mengenai seseorang seperti yang diturunkan mengenai Ali dan 300 ayat telah diturunkan berkenaan dengannya.”25

Dengan demikian, surah al-Maidah ayat 55 sebenarnya menyatakan bahwa Allah adalah wali kalian, kemudian Nabi Muhammad, dan Ali. Dapat kita simpulkan bahwa wilayah (kepemimpinan/wali) Imam Ali serupa dengan wilayahnya Nabi Muhammad saw karena Allah telah menyejajarkan mereka. Kuasa Nabi Muhammad yang dijelaskan oleh ayat Quran berikut:

Nabi Muhammad memiliki hak lebih atas orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri (QS. al-Ahzab : 6).

Hai orang-orang beriman! Taatlah kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang di antara kalian yang telah diberi kuasa (oleh Allah)” (QS. an-Nisa : 59).

Orang mungkin melihat ayat lain berkenaan dengan kuasa Nabi Muhammad saw seperti al-Maidah : 56, al-Hasyr : 7, at-Taubah : 103, al-Ahzab : 21. Dengan meletakkan semua ayat itu bersama-sama dengan QS. 5:55, orang dapat merujukkan kuasa dan prioritas ini juga kepada Ali setelah Rasul tiada. Nasa`i dan Hakim juga mencatat versi lain hadis Ghadir Khum dengan kata-kata berbeda yang lebih memberikan kejelasan pada makna hadis tersebut. Mereka meriwayatkannya dari sumber Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah menambahkan: “Sesungguhnya Allah adalah Maulaku dan aku adalah Wali (pemimpin) orang-orang beriman.” Kemudian ia mengangkat tangan Ali dan berkata: "Ia (Ali) adalah wali semua orang-orang yang menganggapku sebagai walinya. Ya, Allah cintailah orang-orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya!”26

Dalam ucapan lainnya, Nabi Muhammad bertanya tiga kali: "Hai kaum Muslimin! Siapakah Maula kalian?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian ia mengamit tangan Ali dan mengangkatnya: “Barangsiapa yang mengangkat Allah dan Rasul-Nya sebagai wali, maka lelaki ini adalah walinya juga.”27

Apabila wali artinya sahabat, lalu mengapa orang-orang menjawab hanya Allah dan utusan-Nya sebagai wali mereka? Mereka seharusnya berkata bahwa semua orang beriman adalah wali. Hal. ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang-orang mengetahui bahwa hal. itu benar, tetapi kemudian mereka berbuat sebaliknya. Sekarang mari kita lihat hadis berikut. Ali tiba di dataran Rahbah, dan beberapa orang berkata padanya: “Sejahtera senantiasa atas Maula kami!” Ali bertanya: "Bagaimana dapat aku menjadi Maula kalian sedang kalian adalah bangsa Arab (orang merdeka).” Mereka menjawab: "Aku mendengar Rasulullah pada hari Ghadir Khum berkata: “Barangsiapa menganggapku sebagai Maula, Ali adalah maulanya.”28

Jika 'maula' berarti sahabat, mengapa Ali mengajukan pertanyaan di atas? Apakah kata persahabatan merupakan istilah baru bagi bahasa Arab? Sebenarnya, Imam Ali ketika bertanya, ingin mengulang pentingnya kata 'maula' dan menunjukkan bahwa orang-orang pada saat itu tidak mengartikan 'maula' sebagai sahabat, dan agar mereka mengartikannya sebagai pemimpin orang-orang beriman.

Dengan menyimpulkan diskusi di atas, jelaslah bahwa setiap orang yang berusaha meremehkan hadis Ghadir Khum dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad hanya ingin menyatakan bahwa: “Ali adalah sahabat orang-orang beriman,” telah mengabaikan hadis Nabi di atas yang ia terangkan maksudnya sebagai wali, serta mengabaikan ayat Quran (ayat yang diturunkan di Ghadir Khum dan ayat yang menerangkan pentingnya wali). Terakhir, hadis dari referensi Sunni berikut lebih jauh menjelaskan kenyataan bahwa Wali artinya Imam karena hadis tersebut menggunakan frase 'Ikuti mereka' dan 'imam'. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

Barangsiapa yang ingin hidup dan mati seperti diriku dan tinggal di surga setelah ia meninggal, ia harus mengakui Ali sebagai Wali sesudahku, dan mengangkatnya sebagai Wali (Imam setelahnya) dan harus mengikuti Imam setelahku karena mereka adalah Ahlulbaitku dan tercipta dari dagingku, dan dianugerahi ilmu serta pemahaman yang sama seperti diriku. Barangsiapa yang menyangkal kebaikan mereka dan tidak menghormati hubungan serta kedekatannya denganku, aku tidak akan pernah memberikan syafaatku padanya.29

Ali dan Kebenaran

Dalam beberapa versi hadis Ghadir khum, terdapat kalimat tambahan di mana Nabi Muhammad berkata: “Wa dara al-Haqq ma'ahu haithu dar.” Artinya : “Dan kebenaran (jalan yang benar) mengikutinya (Ali) kemanapun ia pergi.”30

Hal. yang sama pada Shahih at-Turmudzi, diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Ya Allah, limpahkanlah karuniamu pada Ali, jadikanlah kebenaran senantiasa bersama Ali di manapun ia berada.”31

Secara struktur bahasa Arab, pembentukan kata (balaghah) dapat menipu pendengar. Secara logis, kebenaran adalah absolut dan tidak berubah-ubah. Seseorang yang tidak yakin pada kebenaran, perbuatannya akan berubah-ubah.

Dalam kasus ini, Ali berada pada poros absolut pada peristiwa yang terjadi. Jika sesuatu mengubah keputusan seseorang, peristiwa tersebut merupakan hal. yang akan mengubah jalannya-kebenaran dalam hal. ini. Karena perubahan tersebut secara rasional tidak mungkin terjadi karena fitrahnya yang benar secara absolut, maka orang dapat menyimpulkan bahwa keduanya menyatu dan tidak terpisahkan. Ali, oleh karena itu, senantiasa bersama kebenaran sepanjang waktu. Ucapan Nabi Muhammad saw, oleh karenanya, adalah ungkapan kiasan untuk menekankan pentingnya dan kedekatan Ali pada kebenaran dan 'jalan yang benar' tidak dapat di beda-bedakan.

Sedangkan apabila kita balikkan tatanannya (Ali bergerak mengikuti kebenaran) secara teoritis, akan melenceng maknanya. Karena secara teoritis, Ali-lah yang menjadikan sesuatu bergerak, didasarkan pada teori bahwa Ali adalah benda bergerak. Makna ini akan terdengar lemah, dan menyiratkan seseorang yang tidak sempurna.

"Sesungguhnya Pemimpin Kalian..."

Sesungguhnya pemimpin kalian adalah Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat pada saat mereka ruku. Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman sebagai pemimpin, sesungguhnya golongan Allah-lah yang akan menang. (QS. al-Maidah: 55-56)

Telah disepakati bahwa ayat tersebut turun berkenan dengan Ali saat ia menyedekahkan cincinnya saat ia sedang ruku. Hal. ini pun secara berturut-turut shahih berdasarkan 12 imam.32

Dalam Tafsir Quran Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Naisaburi Tsa`labi (337 H), Ibnu Khallikan memberikan catatan tentang kematiannya; “Ia adalah seorang ahli Tafsir Quran yang unik dan Tafsir al-Kabirnya lebih baik dari tafsir-tafsir lain.”

Ketika ia membahas ayat ini, ia mencatat hal. ini pada Tafsir al-Kabir dari sumber Abu Dzar Ghifari yang berkata:

Kedua mataku akan buta dan kedua telingaku akan tuli sekiranya aku berkata kebohongan. Aku mendengar Rasulullah saw berkata: “Ali adalah pemberi petunjuk orang-orang beriman dan penghancur orang kafir, orang yang membantunya akan beruntung dan yang meninggalkanya akan binasa.”

Suatu hari aku shalat berjamaah di belakang Rasul. Seorang peminta-minta datang dan memohon sedekah. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang memberinya sesuatu. Saat itu Ali tengah ruku. Ia menyorongkan tangannya di mana melingkar sebuah cincin di jarinya pada peminta itu. Peminta-minta itu melepaskan cincin pada jarinya.

Nabi Muhammad berdoa kepada Allah, ia berkata :”Ya Allah, saudaraku Musa memohon padamu dengan mengatakan: 'Ya Tuhanku, lembutkanlah hatiku dan mudahkanlah segala urusanku! Lepaskanlah kekakuan lidahku agar mereka memahamiku! Tunjuklah dari keluargaku, Harun, saudaraku sebagai wakilku, dan kuatkan diriku dengan kehadirannya dan ikutkanlah ia dalam misiku, sehingga kami senantiasa mengagungkanmu dan mengingatmu! Sesungguhnya Engkau telah melihat kami dan memberinya ilham: “Ya, Musa, semua permintaanmu telah dikabulkan.”

Ya Allah, aku adalah hambamu, Rasulmu. Lembutkanlah hatiku dan mudahkanlah segala urusanku dan tunjuklah dari keluargaku, Ali, sebagai wakilku dan memperkuat diriku dengan keberadaannya.'

Demi Allah, Rasulullah belum selesai berdoa ketika Jibril, Malaikat utusan Allah turun kepadanya bersama ayat ini: "Sesungguhnya Allah adalah pemimpinmu dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan memberi sedekah ketika ruku. Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan orang-orang beriman sebagai pemimpin, sesungguhnya golongan Allahlah yang akan menang.33

Allamah Thabarsi, ketika menafsirkan ayat ini dalam kitab Majma al-Bayan menyatakan: “Bentuk jamak telah digunakan untuk menunjuk Ali, pemimpin orang-orang beriman, untuk memberi penghormatan dan keutamaan kepadanya.” Para ahli bahasa Arab menggunakan bentuk jamak kepada seseorang untuk memberi penghormatan.

Allamah Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf telah menyebutkan hal. menarik lainnya sebagai berikut:

Jika kalian ingin mengetahui bagaimana bentuk jamak ini dimaksudkan untuk Ali yang merupakan satu orang, saya akan mengatakan melalui ayat ini. Bentuk jamak di gunakan sebagai ajakan bagi orang lain untuk berbuat serupa dan mengeluarkan sedekah seperti yang Ali lakukan. Ada juga instruksi tersirat bahwa orang-orang beriman harus senantiasa mencari-cari kegiatan untuk beramal saleh, bersimpati kepada orang-orang miskin dan orang-orang membutuhkan bantuan, dan siap membantu tanpa menunda hingga selesainya sebuah kewajiban, bahkan ketika sedang shalat.34

Siapa Penerus Nabi Muhammad saw?

Muhammad Tijani pernah menyindir seorang ulama Sunni dengan berkata bahwa Abu Bakar sesungguhnya lebih berilmu daripada Nabi Muhammad saw. Abu Bakar mengetahui bahwa Nabi harus menunjuk seseorang sebagai penerusnya untuk menjaga agar sistem dan masyarakat tetap teratur. Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penerusnya. Akan tetapi, Nabi Muhammad tidak menyadari tugas penting ini bahwa masyarakat Islam membutuhkan seorang pemimpin berkualitas setelah ia tiada, atau Nabi Muhammad tidak menganggap penting tentang siapa yang akan menjalankan roda kepemimpinan setelahnya.

Masalahnya adalah kepemimpinan. Apakah permasalahan ini tidak begitu penting bagi Nabi Muhammad atau apakah ia tidak sungguh-sungguh menghadapinya? Tentu saja, Nabi Muhammad menanggapinya dengan sungguh-sungguh dan ia pasti telah menunjuk pengganti (khalifah) yang paling berkualitas sebagai pemimpin negara Islam dan penjaga syariah (hukum Allah).

Pertanyaan lain yang muncul adalah: Siapakah yang lebih cakap dalam menunjuk khalifah, Allah Swt dan Rasul-Nya atau kaum Muslimin? Apakah Islam didasarkan pada demokrasi (pemerintah dipilih oleh masyarakat) ataukah teokrasi (kerajaan Allah di muka bumi ini?) Sejarah Islam membuktikan bahwa pemerintahan setelah Nabi Muhammad saw tiada didasarkan pada prinsip demokrasi ataupun teokrasi. Hanya beberapa orang saja berkumpul di Saqifah Bani Saidah dan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah sedangkan Ali tengah sibuk mengurus jenazah Nabi Muhammad saw di Madinah.

Dapatkah kita memilih seseorang Rasul melalui musyawarah? Hal. yang sama pun berlaku dalam menunjuk pengganti Rasul, karena Allah Mahatahu siapa yang lebih berkualitas untuk kedudukan ini. Akan nampak aneh jika seorang wakil seorang pemimpin ditunjuk oleh orang lain dan bukan oleh dirinya. Wakil Allah (atau Rasul) hanya ditunjuk oleh Allah (atau Rasul), dan hal. ini bukan urusan manusia. Banyak contoh dalam Quran ketika Allah menyatakan bahwa Dialah yang berhak menunjuk seorang penerus di muka bumi. Allah Yang Mahatinggi berfirman: “Hai Daud, kami telah menjadikanmu penguasa (penerus) di muka bumi ini…” (QS. Shad : 26); dan “Kami telah menjadikanmu (Ibrahim) penguasa (pemimpin) bagi manusia” (QS. al-Baqarah : 124).

Khalifah/imam bagi umat manusia ditunjuk oleh Allah Swt. Lihat pula surah al-Baqarah ayat 30 mengenai Nabi Adam as. Bahkan ketika ingin pergi ke Miqaat, Nabi Musa as tidak meminta kaumnya membentuk sebuah syura untuk menunjuk seorang wakil baginya. Quran menyatakan bahwa Musa berkata: “Ya, Allah tunjuklah bagiku seorang wakil, (yaitu) Harun saudaraku….”(Allah) bersabda: ”Kami perkenankan permohonanmu hai, Musa!“ (QS. Tha Ha :29-36).

Allah Yang Mahatinggi berfirman: “Sesungguhnya kami telah memberi kitab kepada Musa dan menunjuk Harun sebagai wakilnya.” (QS. al-A`raf : 142). Perhatikanlah bahwa ukhlifni dan khalifa (khalifah) berasal dari akar kata yang sama.

Dalam kaitannya dengan hal. ini, mari kita perhatikan hadis Shahih al-Bukhari yang menarik berikut ini. Rasulullah saw berkata kepada Ali: “Kedudukanmu bagiku bagaikan Harun bagi Musa, hanya saja tiada rasul setelahku.”35

Nabi Muhammad saw bermaksud menyatakan bahwa sebagaimana Nabi Musa as menunjuk Nabi Harun as untuk menjaga kaumnya saat ia pergi ke Maqat (bertemu Allah), Nabi Muhammad menunjuk Ali untuk menjaga Islam setelah ia wafat.

Ayat Quran mengenai Nabi Harun as di atas menunjukkan bahwa bahkan Nabi tidak menunjuk wakil/penerus dirinya, tetapi Allah-lah yang menunjuknya. Nabi Musa bermohon kepada Allah agar Harun menjadi wakilnya dan Allah memperkenankan permohonan Nabi Musa as.

Nabi Muhammad Mengumumkan Pengganti Dirinya Saat Ia Menyebarkan Ajarannya Pertama Kali

Dua hadis berikut dicatat, secara beriringan, dalam Tarikh at-Thabari yang merupakan salah satu kitab sejarah penting bagi Sunni. Di samping Thabari, banyak ahli sejarah, ahli hadis dan ahli tafsir Quran dari kalangan Sunni mencatat hadis ini dalam kitab-kitab mereka. Dua hadis tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw, atas perintah Allah, telah mengenalkan Ali sebagai penggantinya bahkan pada khutbah pembukaan pertamanya kepada masyarakat.

Diriwayatkan Ibnu Humaid, dari Salamah, dari Muhammad Ibnu Ishaq, dari Abdul Ghaffar bin Qasim dari Minhal bin Amr, dari Abdullah bin Haris bin Naufal bin Haris bin Abdul Muththalib, dari Abdullah bin Abbas, dari Ali bin Abi Thalib:

Ketika ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat terdekatmu." (QS. asy-Syu`ara : 214) turun kepada Nabi Muhammad, ia memanggilku dan berkata: “Ali, Allah memerintahku untuk memberi peringatan kepada kerabat terdekatku. Aku memiliki kesulitan dengan hal. ini, karena apabila aku bicarakan hal. ini kepada mereka, mereka akan memberi jawaban yang tidak akan aku sukai. Aku tetap berdiam diri hingga Jibril datang padaku dan berkata: 'Jika engkau tidak melaksanakan apa yang telah di perintahkan kepadamu, Allah akan menghukummu.' Oleh karenanya siapkanlah sejumlah gandum bagi kami, lalu tambahkan daging kaki kambing, isilah mangkuk-mangkuk besar dengan susu kemudian undanglah putra-putra Abdul Muththalib agar aku dapat berbicara kepada mereka apa yang telah diperintahkan Allah kepadaku.”

“Aku melaksanakan apa yang ia perintahkan. Saat itu jumlah mereka kurang lebih 40 orang lelaki, termasuk di antaranya Abu Thalib, Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab. Ketika mereka telah berkumpul ia memanggilku untuk membawa makanan yang telah aku siapkan. Aku membawanya, dan ketika aku meletakkan makanan tersebut, Nabi mengambil sekerat daging, merobek dengan giginya dan meletakkannya di piring. Kemudian ia berkata: 'Makanlah dengan nama Allah!' Mereka makan hingga mereka tidak dapat memakannya lagi, sedang makanan itu tetap utuh. Aku bersumpah kepada Allah, yang di tangan-Nya tergenggam jiwa Ali, seorang lelaki dapat makan dengan jumlah makanan yang aku siapkan. Kemudian ia berkata: 'Berilah mereka minum!' Lalu aku pun membawakan minum bagi mereka hingga mereka kenyang, dan aku bersumpah kepada Allah bahwa seorang lelaki dapat minum begitu banyak. Ketika Nabi akan berbicara kepada mereka, Abu Lahab menyelanya dan berkata: 'Tamumu ini lama berada di sini, karena telah memesonakan dirimu.' Mereka pergi tanpa Nabi dapat berkata-kata.”

“Hari berikutnya ia berkata kepadaku: Ali, lelaki ini telah menyela apa yang aku katakan sehingga orang-orang pergi sebelum aku sempat berkata-kata. Siapkanlah makanan yang sama seperti yang kau siapkan di hari kemarin, dan undanglah mereka kemari!' Aku melakukan apa yang ia perintahkan, membawakan makanan untuk mereka ketika ia memanggilku. Ia melakukan seperti hari kemarin dan mereka makan hingga mereka tak dapat makan lagi. Kemudian ia berkata: 'Bawakan mangkuknya!' dan mereka minum hingga perut mereka penuh.”

“Lalu ia berkata kepada mereka: 'Bani Abdul Muththalib, adakah seorang lelaki muda Arab yang telah membawa bagi kaumnya sesuatu yang lebih baik yang telah aku bawa buat kalian. Aku membawa yang paling baik dari dunia ini dan dunia akhirat, karena Allah memerintahkanku untuk mengumpulkan kalian. Siapa dari kalian yang akan membantuku dalam urusan ini, ia akan menjadi saudaraku, pendampingku (wali), penerusku (khalifah) di antara kalian. Mereka semua diam, dan meskipun aku paling muda, aku berkata: “Aku akan menjadi pembantumu, Ya Rasulullah.” Ia meletakkan tangannya di pundakku dan berkata, “Inilah saudaraku, pendampingku (wasi), dan penerus (khalifah) di antara kalian, maka dengarkanlah ia dan taatilah ia.” Mereka berdiri sambil tertawa dan berkata kepada Abu Thalib, “Ia memerintahkanmu untuk menaati putramu dan menaatinya!”36

Hadis di atas diriwayatkan juga oleh pemuka-pemuka terkenal Sunni seperti Muhammad bin Ishaq, Ibnu Abu Hatim, dan Ibnu Mardawaih. Hal. ini juga dicatat oleh banyak para orientalis, seperti T. Carlyle, E. Gibbon, J. Davenport, dan W. Irving. Seperti yang kita ketahui, Nabi Muhammad memerintahkan orang-orang untuk mendengar dan menaati Ali bahkan pada khutbah pembukaan pertamanya, yaitu ketika ia mengumumkan kenabiannya secara terbuka. Syi`ah artinya 'para pengikut' dan secara khusus dimaksudkan untuk 'para pengikut Ali'. Mazhab pemikiran Syi`ah, sebenarnya didirikan oleh Nabi Muhammad sejak awal misinya.

Kalaupun kita mengikuti Ali, itu karena Nabi Muhammad meminta kita untuk mengikutinya. Selain itu, apa pun yang dikatakan Ali adalah ajaran asli dan ucapan Nabi Muhammad saw dan apa pun yang dikatakan Nabi adalah ajaran asli dan firman Allah Swt. Hal. ini disebabkan karena Nabi Muhammad dan para Imam adalah orang-orang suci dan mereka tidak mengucapkan satu hal. pun yang bertentangan dengan apa yang telah Allah perintahkan.

Hadis berikut dalam Tarikh at-Thabari menyatakan bahwa telah diriwayatkan dari Zakaria bin Yahya Darir, dari Affan bin Muslim, dari Abu Awanah, dari Utsman bin Mughirah, dari Abu Shadiq, dari Rabiah bin Najid:

Seorang lelaki berkata kepada Ali: “Hai pemimpin orang-orang beriman, bagaimana kiranya engkau menjadi pewaris sepupumu di luar garis keturunan pamanmu?" Ali berdeham tiga kali hingga setiap orang menoleh padanya dan memasang telinga mereka. “Nabi mengundang seluruh keluarga Abdul Muththalib, termasuk juga kerabat dekatnya, untuk makan daging kambing yang usianya satu tahun dan minum susu. Ia pun menghidangkan sejumlah gandum. Mereka makan hingga perut mereka kenyang, sedang makanan masih utuh seolah-olah makanan itu belum disentuh dan minum hingga mereka tidak dapat minum lagi, tetapi minuman itu seolah-olah tidak diminum belum tersentuh. Kemudian Nabi berkata: 'Bani Abdul Muththalib, aku telah menyampaikan kepada masyarakat secara umum dan kepada kalian secara khusus. Sekarang kalian melihat apa yang telah kalian lihat, siapakah dari kalian yang akan bersumpah setia kepadaku untuk menjadi saudaraku, sahabatku dan pewarisku?' Tak seorangpun berdiri, lalu aku berdiri di hadapannya meski aku orang termuda. Ia menyuruh untuk duduk. Ia mengulang ucapan tersebut tiga kali, sedang aku selalu berdiri ketika ia berkata dan memintaku untuk duduk. Pada kali ketiga, ia memegang tanganku. Itulah mengapa aku menjadi pewaris sepupuku di luar garis keturunan pamanku."37

Penafsiran Lain

Seorang saudara dari mazhab Sunni menyebutkan bahwa pada peristiwa di atas Nabi Muhammad hanya berbicara kepada keluarga Bani Abdul Muththalib saja dan tidak pada kaum Muslimin. Penjelasan yang paling memungkinkan untuk hal. ini adalah bahwa Nabi Muhammad ingin agar Ali menjadi penggantinya dalam mengurus urusan yang berhubungan dengan keluarga Banu Abdul Muththalib ketika ia tidak ada dan setelah ia wafat, bukan sebagai pengganti kepemimpinan seluruh kaum Muslim.

Dalam hal. ini kita harus menyebutkan pertama-tama bahwa anak-anak Abdul Muththalib bukanlah keluarga Nabi Muhammad. Mereka adalah kerabat Nabi. Berdasarkan hadis yang disebutkan, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa apa yang Nabi Muhammad sampaikan hanya ditujukan kepada kerabatnya. Ia baru saja memulainya dari kerabat terdekatnya.

Sekarang, apakah anda secara jujur, meyakini bahwa Nabi Muhammad menunjuk seorang pengganti setelahnya hanya bagi Bani Abdul Muththalib, tetapi ia lupa menunjuk seorang pengganti untuk umatnya? Nabi Muhammad bukanlah seorang nasionalis. Ia diutus bukan hanya bagi kaum Bani Abdul Muththalib. Ia diutus bagi seluruh umat manusia seperti yang disebutkan dalam hadis. Lalu mengapa hal. ini merupakan kelalaian orang lain? Jika menunjuk seorang penerus merupakan tugas Rasul, hal. ini tidak dapat dibatasi hanya pada orang tertentu, karena Nabi tidak diutus untuk suatu kaum tertentu.

Selain itu, bukan saat itu saja Rasul mengumumkan bahwa Ali adalah penerusnya. Saat itu adalah kali pertama. Ada banyak hadis dalam koleksi hadis Sunni yang menunjukkan secara tersirat dan tersurat siapa yang ditunjuk Rasul sebagai penerusnya. Pernyataan resminya adalah di Ghadir khum sebagaimana yang dibuktikan oleh kitab Shihah Sittah.

Penting juga diingat bahwa peristiwa bersejarah senantiasa dicatat dan dikendalikan oleh penguasa. Hal ini terjadi di setiap zaman, tidak terkecuali pemerintahan zalim Umayah dan Abbasiah. Dalam banyak kasus, seperti contoh di atas, kenyataan tidak secara eksplisit dicatat dalam sejarah, akan tetapi dapat ditemukan secara implisit. Hal. ini adalah penyensoran penguasa di sepanjang sejarah. Nabi Muhammad menyatakan bahwa Ali senantiasa bersama kebenaran dan kebenaran senantiasa bersama Ali.35

Bagaimana Hal. Ini Dapat Terjadi?37

Dua orang Syekh, Bukhari dan Muslim, tidak menyebutkan peristiwa penting berkenaan dengan penyebaran pertama ajaran Nabi meskipun hal. ini diriwayatkan oleh banyak sejarahwan dan ahli hadis. Akan tetapi, Muslim dan beberapa ahli hadis lain mencatat sebuah peristiwa yang terjadi sesudah peristiwa ini. Mereka mencatat tentang kedatangan Nabi di Shafa dan undangan Nabi kepada orang-orang Quraisy serta ajakan Nabi kepada mereka untuk meyakini agama baru. Muslim dan ahli hadis ini menyebutkan peristiwa terakhir ini dan mengaitkannya dengan ayat tentang peringatan Nabi Muhammad kepada kerabatnya. Muslim mencatat bahwa Abu Hurairah mencatat peristiwa berikut:

Ketika ayat ini turun: “Dan berilah peringatan kepada kerabat terdekatmu,” Rasulullah memanggil suku Quraisy dan mereka datang bersama-sama. Ia berkata kepada mereka tentang hal-hal yang umum dan yang khusus. Ia berkata, “Hai Bani Ka`ab bin Lu`ay, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai, Bani Murrah bin Ka`ab, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai, Bani Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai, Fathimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Karena aku tidak memiliki perlindungan apa pun atasmu dari Allah, kecuali hubungan denganku yang aku ketahui.”38

Aneh sekali, ketika Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk memberi peringatan kepada kerabat terdekatnya, yaitu anak-anak Abdul Muththalib, tetapi Nabi Muhammad malah memanggil Bani Ka`ab bin Lu`ay dan Bani Murrab bin Ka`ab yang kekerabatan dengannya sangat jauh. Tidaklah masuk akal jika utusan Allah tidak menaati apa yang telah Allah perintahkan kepadanya.

Dan yang lebih aneh lagi adalah Nabi Muhammad memanggil putrinya Fathimah di depan umum, untuk menyelamatkan dirinya dari api neraka, meskipun ia adalah gadis muslim tersuci yang ayah serta ibunya merupakan orangtua yang paling suci.

Fathimah, pada saat turunnya ayat di atas berdasarkan para sejarahwan, baru berusia dua atau delapan tahun. Hakim dalam kitab al-Mustadrak (vol. 3, hal. 61) mencatat bahwa Fathimah lahir 41 tahun setelah kelahiran ayahnya.

Adalah tidak logis jika Nabi Muhammad berkata kepada seorang bocah berusia dua tahun dan ia menyamakan kedudukan gadis kecil yang suci (masih sangat kecil, usianya tidak lebih dari 8 tahun) itu dengan penyembah berhala seperti Bani Ka`ab dan Bani Murrah.

Yang bahkan lebih aneh adalah hadis dari Aisyah yang dicatat dalam Shahih-nya seperti sebagai berikut: “Ketika ayat untuk memberi peringatan turun, Nabi Muhammad berkata: 'Hai, Fathimah, putri Muhammad, Safiya, putri Abdul Muththalib, aku tidak memiliki kuasa apa pun untuk melindungi kalian dari Allah. Mintalah kepadaku kekayaanku sebagaimana yang kalian inginkan.'”39

Hadis ini tidaklah sejalan dengan hadis pertama. Karena hadis ini dicatat bahwa Nabi Muhammad hanya berkata kepada bani Abdul Muththalib, sedang hadis yang satu lagi diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad berkata di depan umum kepada selain keluarga Nabi Muhammad. Dan yang paling aneh dalam hadis ini adalah Nabi Muhammad berkata di depan umum ketika berada di Shafa hanya kepada putri kecilnya sedang ia tinggal bersamanya dan melihatnya setiap waktu. Juga aneh bahwa ucapan yang ia tujukan kepadanya dan kepada anggota Bani Abdul Muththalib lainnya tidak berisi pesan apa pun, seperti seruan kepada mereka untuk menyembah Allah atau menghindari diri dari menyembah berhala.

Selain itu, ketika peristiwa itu terjadi, Aisyah belum lahir. Nabi Muhammad wafat ketika Aisyah baru berusia 18 tahun.40 Dan yang lebih aneh dari semua adalah bahwa Zamakhsyari meriwayatkan bahwa Aisyah binti Abu Bakar dan Hafsah binti Umar, adalah orang-orang yang diberi peringatan oleh Nabi Muhammad setelah turunnya ayat ini (yang diturunkan sebelum lahirnya Aisyah).41

Hal. ini menunjukkan dengan jelas bahwa para pencatat hadis atau periwayat hadis ini benar-benar sangat keliru. Mereka melupakan kenyataan bahwa Nabi Muhammad diperintah Allah untuk memberi peringatan kepada kerabat terdekatnya, yaitu Bani Abdul Muththalib, dan Nabi Muhammad tidak diharapkan melanggar perintah Allah. Apa yang disampaikan hadis ini bertentangan dengan ayat itu sendiri dan apa pun yang bertentangan dengan Quran harus diabaikan. Peristiwa yang banyak dicatat oleh para sejarahwan dan ahli hadis yaitu pertemuan diadakan dengan kerabat terdekatnya adalah satu-satunya jalan yang logis yang diambil Nabi Muhammad untuk ia lakukan setelah turunnya ayat itu.

Pendapat Ali Mengenai Kekhalifahan

Seseorang menyebutkan, pada salah satu khutbah Nahj al-Balaghah dituliskan bahwa Ali menyatakan perundingan sebagai satu alasan mengapa ia memiliki hak legal atas kekhalifahan. Di sini Ali bertentangan dengan ajaran Syi`ah bahwa Nabi Muhammad ingin menunjuk Ali sebagai Imam. Tentu dimaksudkan adalah bukan pidato/khutbah Ali kepada kaum Muslimin selain juga maksudnya telah keluar dari konteksnya. Pernyataan Ali itu merupakan sebagian dari isi suratnya kepada Muawiyah ketika ia menolak memberi sumpah setia kepada Ali. Alasan di atas juga bertentangan dengan klaim Ali. Dalam surah tersebut Ali tidak mengatakan bahwa ia meyakini fungsi pemilihan khalifah. Ia lebih ingin menggunakan argumen lawan dalam menghadapi mereka.

Ketika semua penduduk Madinah sepakat berbaiat kepada Ali, Muawiyah menolak menerima/tunduk karena akan membahayakan kekuasaannya, dan sebagai alasan ketidaksetiaannya, ia mendebat bahwa karena ia tidak turut dalam pemilihan itu, pemilihan tersebut tidak sah dan oleh karenanya harus diadakan pemilihan ulang. Hal. ini terjadi ketika Abu Bakar dipilih hanya oleh sejumlah kecil orang dan tidak ada kesepakatan nasional sehingga dapat dianggap bahwa kekhalifahan Abu Bakar dipilih oleh orang-orang. Akan tetapi, penguasa yang memimpin setelah Nabi menyatakan kepada orang-orang bahwa begitulah arti pemilihan, dan menjadi prinsip yang diterapkan kepada masyarakat serta dijadikan keputusan bahwa siapapun yang dipilih oleh bangsawan-bangsawan Madinah dianggap mewakili seluruh dunia Islam, dan tidak ada seorang pun berhak mempertanyakan serta memikirkan kembali apakah ia hadir pada saat pemilihan ataupun tidak.

Masyarakat, yang kemudian memberi dukungan kepada Muawiyah, adalah mereka yang telah menggemakan argumen tersebut. Ketika pemerintahan kaum Muslimin dalam bentuk kekhalifahan dipegang Ali, mereka memberontak. Banyak dari mereka yang menentang meski telah bersumpah setia kepadanya.

Dalam isi suratnya kepada Muawiyah, Ali mengutip argumen yang digunakan untuk mendebatnya ketika Ali menolak berbaiat kepada Abu Bakar. Ali meyebutkan bahwa apabila sebuah pemilihan oleh masyarakat merupakan kriteria menentukan khalifah, pemilihan umum telah dilaksanakan di Madinah oleh kaum Anshar dan Muhajirin untuk memilihnya, dan tidak ada seorang pun dapat menyangkal kenyataan ini. Oleh karenanya, walau dengan menggunakan argumen yang digunakan lawan Ali, pemilihannya sah, umum dan jujur. Kaum Muslimin yang menerima prinsip-prinsip tersebut untuk melegitimasi penunjukan Abu Bakar, tidak punya hak untuk berbicara ataupun bertindak menentangnya. Dan tentunya Muawiyah tidak mempunyai hak meminta diadakan pemilihan ulang ataupun menolak berbaiat, ketika pada praktiknya, ia mengakui argumen ini dalam pemilihan Abu Bakar.

Dalam suratnya, Imam Ali menulis kepada Muawiyah:

Sesungguhnya orang-orang yang berbaiat kepada Abu Bakar, Umar dan Utsman telah pula berbaiat kepadaku dengan prinsip dasar yang sama sebagaimana halnya prinsip yang orang-orang gunakan pada mereka. Dengan dasar ini, orang yang hadir tidak memiliki pilihan lain untuk mempertimbangkan kembali, dan orang yang tidak hadir tidak berhak untuk menolak. Perundingan dilakukan kaum Anshar dan Muhajirin. Jika mereka sepakat secara individual dan mengangkatnya sebagai pemimpin, hal. ini dianggap kehendak Allah. Apabila ada seseorang yang menentang keputusan tersebut karena ada pembaharuan, mereka biasanya akan mengembalikan ia dari yang telah ia jauhi dan jika ia menentang (ketentuan tersebut) mereka (biasanya) memeranginya karena mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman, dan Allah akan mengembalikannya dari tempat ia melarikan diri.

Hai, Muawiyah, jika engkau menggunakan akalmu tanpa niat dan maksud tertentu, engkau akan mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling tidak bersalah dari semua orang dalam tertumpahnya darah Utsman, dan engkau tentu akan tahu bahwa aku terlepas darinya, kecuali jika engkau menyembunyikan sesuatu yang sesungguhnya jelas bagimu dan menumpahkan semua kesalahan ini kepadaku.

Dalam isi suratnya di atas, Ali menggunakan argumen balik untuk mematahkan argumen Muawiyah. Metode ini dikenal dengan mendebat lawan dengan menggunakan premis-premis galat untuk mematahkan argumennya. Dalam hal. agama, Ali tidak pernah menganggap perundingan dengan pemuka atau pemilihan umum menjadi kriteria sahnya kekhalifahan. Jika tidak, Ali tentu tidak akan pernah menunda dirinya memberi baiat kepada Abu Bakar pada enam bulan pertama kekhalifahan Abu Bakar yang merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak seluruh kaum Muslimin. Hal. ini adalah bukti kenyataan bahwa ia tidak menganggap metode buatan sendiri sebagai kriteria sahnya kekhalifahan. Menghadapkan di depan Muawiyah artinya membuka pintu pertanyaan dan jawaban. Ali, dengan demikian berusaha meyakinkan Muawiyah dengan premis-premis dan keyakinannya sendiri sehingga tidak akan ada celah untuk tafsiran lain atau celah yang akan membingungkan permasalahan tersebut. Ali menyebutkan argumen di atas hanya sebagai alat melawan Muawiyah (dan dalam peristiwa lain ketika menentang Thalhah dan Zubair) untuk membuktikan betapa rancu serta janggal argumen yang digunakan musuh-musuhnya untuk menyingkirkan haknya yang sah dan menggunakan prinsip-prinsip tersebut untuk menyakitinya.

Argumen seperti itu pernah digunakan Nabi Ibrahim as ketika menyatakan bahwa ia menyembah matahari dan bulan hanya untuk menunjukkan bahwa sebuah dasar pemikiran yang salah akan mengakibatkan hasil yang kontradiktif. Pada peristiwa ini, Ali tidak mendebat dengan menggunakan ucapan Nabi Muhammad yang ia gunakan sebagai alasan terakhir kekhalifahannya, karena dasar penolakan pada kasusnya berhubungan dengan gaya prinsip-prinsip pemilihan. Oleh karenanya, agar sesuai dengan situasinya, jawaban yang didasarkan pada prinsip-prinsip lawan dapat dengan sendirinya menghentikan lawan. Bahkan jika ia mendebat dengan ucapan ampuh Nabi Muhammad, hal. tersebut akan menimbulkan berbagai penafsiran dan masalahnya bukannya selesai tetapi malah bertambah panjang. Sebenarnya, tujuan Muawiyah adalah memperpanjang masalah agar pada titik tertentu kekuasaannya mendapat dukungan. Ali menyaksikan betapa tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat, seluruh ucapan Nabi mengenai penunjukan penggantinya telah diabaikan. Oleh karenanya, bagaimana setelah sekian lama, seseorang dapat menerima apabila kebiasaan telah berakar dalam mengikuti kehendak bebas seseorang yang bertentangan dengan perintah Allah?

Selain itu, terdapat banyak khutbah dalam Nahj al-Balaghah di mana Ali secara jelas mengungkapkan haknya yang dirampas sejak hari pertama wafatnya karunia semesta Alam, Nabi Muhammad. Berikut ini salah satu contoh khotbahnya.

Khutbah Syiqsyiqiyyah

Khutbah ini dinamakan khutbah Syiqsyiqiyyah karena ketika Imam Ali menyampaikan khutbah ini, seseorang dari Iraq berdiri dan menyerahkan sebuah surah padanya. Imam Ali begitu asyik dalam membacanya. Usai membaca surah tersebut Abdullah bin Abbas meminta Imam melanjutkan khotbahnya. Imam menjawab, “Ibnu Abbas! Khotbahku ini tanpa persiapan dan aku sampaikan dengan secara spontan seperti syiqsyiqiyyah (ringkikan unta), khutbahku tidak dapat aku lanjutkan karena sejauh ini isinya sudah jelas. Kutipan selengkapnya sebagai berikut;

“Berhati-hatilah! Putra Abu Quhafah (Abu Bakar) mengangkat dirinya sendiri (sebagai khalifah) dan tentu ia mengetahui kedudukanku sehubungan dengannya sama seperti posisi sumbu dengan penggiling batu. Air bah mengalir padaku dan burung-burung tidak dapat terbang di atasku. Aku akan menutup diri terhadap kekhalifahan dan bersikap tidak memihak.

Lalu aku mulai berpikir apakah aku harus menuntut ataukah menyabarkan diri dari gelapnya kesengsaraan yang membutakan dimana orang-orang tua dibuat lemah dan para pemuda dibuat tua sedang orang yang benar-benar beriman bertindak dibawah tekanan hingga ia bertemu Allah (meninggal). Aku melihat bahwa kesabaran dalamnya lebih bijaksana. Maka akupun bersabar meski menusuk mata dan mencekik leher (karena aib) Aku melihat terampasnya warisanku hingga warisan pertama lepas, tetapi diserahkan kepada khalifah Ibnu Khattab setelahnya. (kemudian ia membacakan surah al-Ash`ash).

Hari-hariku kini kulalui pada punggung unta (dalam kesulitan) sedang pada saat itu ada masa-masa (dalam kemudahan) ketika aku berbahagia bersahabatkan saudaraku Jabir Hayan.

Betapa aneh, selama hidupnya ia ingin terlepas dari jabatan kekhalifahan tetapi ia berikan kepada orang lain setelah wafatnya. Tak diragukan bahwa kedua orang ini telah saling bekerja sama. Yang satu ini menutup kekhalifahan dengan cara keras ketika ucapan terdengar angkuh dan sentuhan terasa kasar. Kekhilafan begitu banyak dan tentu pula alasan. Orang yang memegangnya seperti penunggang di punggung seekor unta liar. Apa bila ia menarik tali kekang, cuping hidungnya robek, akan tetapi apabila ia melepasnya, ia akan terlempar. Sehingga akhirnya demi Allah orang-orang berkubang dalam keserampangan, kejahatan, kegoyahan dan penyimpangan.

Akan tetapi, aku tetap bersabar meski begitu panjang masanya dan begitu sukar cobaannya, hingga ia meninggalkan jalan ini (wafat) ia menyerahkan permasalahan itu (kekhalifahan) kepada sebuah kelompok dan memasukkanku menjadi salah satu bagiannya. Akan tetapi, Ya Allah! Apa yang telah aku lakukan dengan 'perundingan' ini? Adakah kiranya keraguan tentangku berkenaan dengan orang yang pertama sehingga aku dianggap sama seperti mereka? Tetapi aku tetap berada di bawah ketika mereka berada di bawah dan terbang tinggi ketika mereka terbang tinggi. Salah satu dari mereka berbalik menentangku disebabkan kebenciannya dan yang lain cenderung ke arah lain disebabkan kekerabatannya dan ini serta itu. Bersamanya terdapat putra kakeknya, (Umayah) juga berdiri memakan harta Allah seperti seekor unta menghabiskan kuncup-kuncup daun, hingga talinya terputus, perbuatannya mengentikannya dan keserakahan menjatuhkannya.

Saat itu, tiada yang mengejutkanku, akan tetapi orang-orang bergegas datang padaku. Mereka mendatangiku dari segala penjuru seperti jurai dubuk, begitu banyaknya sehingga Hasan dan Husain terhimpit dan pakaianku robek. Mereka bergerombol mengelilingiku seperti sekelompok biri-biri dan kambing. Ketika aku memimpin pemerintahan salah satu kelompok terpecah dan kelompok lainnya menghianatiku sedang sisanya mulai berbuat tidak benar seolah-olah mereka belum mendengar ayat-ayat Allah, Kampung itu berada di akhirat, kami memberikannya kepada orang-orang yang tidak berfoya-foya di muka bumi ini, atau (berbuat) kerusakan (dalamnya); dan akhir (yang paling baik) adalah bagi orang-orang yang beriman” (QS. al-Qashash : 83).

Demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya akan tetapi dunia nampak mempesona di mata mereka dan perhiasannya menggoda mereka. Lihatlah! Demi dia yang menyebar benih (untuk tumbuh) dan menciptakan segala makhluk hidup, sekiranya orang-orang tidak datang padaku dan pendukung tidak melemahkan hujjah dan sekiranya tidak ada janji Allah dengan orang-orang berakal agar mereka tidak menerima keserakahan para penindas serta kelaparan kaum yang ditindas, aku akan melemparkan tali kekhalifahan dari pundakku sendiri, dan akan aku beri orang-orang kelaparan itu perlakuan yang sama seperti pada para penindas lalu engkau akan melihat bahwa dalam pandanganku, dunia tidaklah lebih baik dari pada embikan seekor kambing.”

“Janganlah katakan kepada kami bahwa khutbah ini adalah khutbah bikinan Sayid Radhi. Sebenarnya khutbah khusus Imam Ali ini tersebar di kalangan ulama Sunni 200 tahun lalu sebelum lahirnya Sayid Radhi dan mereka mengakui bahwa khutbah di atas merupakan ucapan asli Imam Ali. Sebenarnya Nahj al-Balaghah bukan hanya sumber Mazhab Sunni, dan banyak ulama Sunni juga telah menuliskan tafsirannya. Nabi Muhammad saw bersabda: “Barangsiapa menganggap aku sebagai rasulnya, Ali adalah pemimpinnya.”

Dalam kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas`ud meriwayatkan:

Rasulullah memerintahkanku untuk ikut dengannya pada malam Jinn. Aku pergi bersamanya hingga kami tiba di Mekkah. Nabi berkata, “Aku rasa kematianku semakin mendekat.” Aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalifahmu?” Ia berpaling dariku, sehingga aku tahu bahwa dirinya tidak setuju. “Ya Rasulullah, apakah engkau akan menjadikan Umar sebagai khalifahmu?” Ia berpaling dariku, sehingga aku tahu bahwa dirinya tidak setuju. Aku berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau akan menjadikan Ali sebagai khalifahmu? Ia menjawab, “(itu) Dia, demi Allah, tiada Tuhan selain Dia, jika engkau memilihnya dan mematuhi-Nya, Allah akan memasukanmu bersama mereka ke surga.”41

Benarkah Wahyu Sebenarnya untuk Ali, bukan Muhammad42

Seorang Sunni mengatakan bahwa kaum Syi`ah meyakini bahwa wahyu sebenarnya salah diturunkan, bukan kepada Nabi Muhammad, melainkan ditujukan kepada Imam Ali.

Tuduhan yang salah ini secara luas menyebar di negara-negara Muslim untuk mendiskreditkan para pengikut Ahlulbait Nabi. Tuduhan ini dibuat pada periode penindasan terhadap kaum Syi`ah. Para penguasa pada periode Umayah dan Abbasiah sering menganggap para pengikut Ahlulbait Nabi sebagai orang-orang revolusioner dan berbahaya. Mereka berkonspirasi untuk menindas kaum Syi`ah dan menuduh mereka sebagai orang kafir dan pembuat bid`ah, untuk mendorong kaum Muslimin menumpahkan darah mereka dan merampas hak serta harta mereka.

Abad penindasan berlalu dengan ketidakadilan dan teror terhadap mereka. Diharapkan, pada periode-periode kemerdekaan, kesalahan masa lalu dapat dibenarkan. Ulama-ulama Islam diharapkan akan melakukan penelitian mendalam untuk melihat apakah ada pembenaran terhadap tuduhan yang mengerikan itu.

Ada beratus-ratus buku yang ditulis oleh ulama Syi`ah tentang keyakinan mereka. Sekiranya para ulama Sunni telah membaca buku-buku ini, mereka akan menemukan bahwa keyakinan kaum Syi`ah sangat sejalan dengan Quran dan ucapan-ucapan terkenal Nabi Muhammad saw. Kita hidup sekarang ini di zaman yang serba cepat. Bagi kaum Muslimin, melakukan konferensi, diskusi dan pencarian solusi adalah hal. yang mudah. Prinsip keadilan yang paling sederhana adalah mengikuti perintah Quran, “Wahai orang-orang beriman, apabila seorang penindas mendatangimu dengan membawa berita, carilah kebenarannya - agar kamu tidak menyebabkan kerusakan pada umat tanpa disadari; dan kamu akan menyesal terhadap ketergesa-gesaanmu.”

Allah memerintahkan kita untuk mencari tahu apakah tuduhan itu benar atau salah, dan kita tidak boleh mencoba dan menghukum mereka tanpa menanyai mereka terlebih dahulu. Kami tidak tahu apakah ada pengadilan di dunia ini yang hakimnya menjatuhkan hukuman kepada seseorang sebelum ia menanyainya, asalkan sang tertuduh ada dan menghormati penangkapan itu. Meskipun sekarang ini seseorang dapat mencari informasi yang benar dengan mudah, kami melihat bahwa orang-orang yang menuduh dan menyebarkan kebencian di kalangan umat tidak berusaha mencari kebenaran yang mungkin akan menyatukan dunia Islam.

Ketika menulis hal. ini, kami ingat pada tahun 50-an ketika pemerintah Mesir mengutus Dr. Muhammad Bisar ke Washington DC, sebagai direktur Pusat Islam. Kami mengunjunginya dan ia menyambut kami dengan hangat dan memberitahu ilmu yang telah ia dapatkan mengenai orang-orang Islam Amerika. Ia menyatakan, beberapa umat Islam di negeri ini bertanya tentang aliran-aliran dalam Islam. Dia menjawab bahwa semua sekte Islam benar kecuali Syi`ah Itsna Asy`ariyyah.

Segera kami menyadari bahwa Dr. Bisar tidak mengetahui arti dari Syi`ah Itsna Asy`ariyyah. Jika tidak, ia tidak akan berkata demikian kepada. Lalu, kamipun terlibat dialog.

Cirri: Apakah ada yang salah dengan Syi`ah Itsna Asy`ariyyah?

Bisar: Mereka percaya pada hal. yang bertentangan dengan Islam.

Cirri: Berilah contoh keyakinan mereka yang salah itu?

Bisar: Mereka berkata bahwa wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad adalah suatu kesalahan. Imam Ali lah yang seharusnya menerima wahyu tersebut.

Chirri: Bagaimana anda tahu?

Bisar: Saya membacanya di buku al-Milal wa an-Nihal karya as-Syahristani.

Chirri: Apakah anda sudah bertanya kepada ulama Syi`ah mengenai persoalan ini?

Bisar: Belum.

Chirri: Kalau begitu anda telah menghakimi jutaan kaum muslimin dan menganggap mereka kafir tanpa menanyakan tuduhan serius ini kepada mereka. Apakah Allah memerintahkan anda melakukan hal. itu? Dan apakah orang-orang Mesir mengutus anda untuk menyebarkan berita itu?

Setahun setelah pertemuan di Washington, kami bertemu Dr. Bisar di Philadelphia pada sebuah konferensi Islam. Ia memberi tahu kami bahwa ia telah memeriksa kembali buku al-Milal wa an-Nihal dan menegaskan bahwa apa yang ia nyatakan kepada kaum Syi`ah, bahwa wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad adalah kesalahan, bukan keyakinan mazhab Syi`ah Itsna Asy`ariyyah. Ia adalah sebuah aliran yang ada pada ratusan tahun yang lalu dan menghilang. Mendengar perkataannya, kami menerima permohonan maafnya. Tetapi kami terkejut bahwa untuk membaca kembali buku tersebut dan menemukan kebenaran ia memerlukan waktu bertahun-tahun.

Kami menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari hadis dan sejarah Islam dalam buku-buku yang dikarang oleh ulama Sunni dan Syi`ah. Kami tidak pernah menemukan sebuah hadispun dalam buku-buku Syi`ah ataupun pada catatan sejarah bahwa Ali bin Abi Thalib kedudukannya lebih tinggi daripada Nabi Muhammad. Pada kenyataannya, kami menemukan hal. sebaliknya. Kaum Syi`ah menganggap Ali sebagai orang yang paling baik setelah Nabi Muhammad karena ia sangat taat kepadanya. Salah satu hadis yang dibanggakan kaum Syi`ah adalah hadis yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. Suatu hari, Rasulullah bersabda kepada suku Walai`ah, “Wahai Bani Walai`ah, kalian harus mengubah sikap kalian, jika tidak aku akan mengirim seorang lelaki kepadamu dari keluargaku untuk menghukummu dengan keras.” Beberapa orang yang hadir di sana bertanya kepada Nabi, “Siapakah lelaki yang akan engkau kirim kepada mereka?” Nabi menjawab, "Dia adalah orang yang sedang menambal sepatuku.” Mereka kemudian memandang sekeliling dan melihat Ali sedang menambal sepatu Rasulullah.43

Adalah hal. yang tidak dapat diterima bahwa kaum Syi`ah merasa bangga bahwa Ali adalah orang yang menambal sepatu Nabi Muhammad lalu menyatakan bahwa Imam ini lebih tinggi kedudukannya daripada Nabi. Oleh karena itu kami tidak menemukan pembenaran apapun terhadap tuduhan yang langsung ditujukan kepada kaum Syi`ah yang sangat mengagungkan Nabi.

Kaum Syi`ah menyatakan bahwa kehormatan yang lebih tinggi yang didapat Imam Ali adalah bahwa ia dipilih oleh Nabi Muhammad sebagai saudaranya ketika Rasulullah memerintahkan setiap dua orang Muslim untuk saling mempersaudarakan. Ia mengangkat lengan Imam Ali dan berkata, “Dia adalah saudaraku.” Dengan demikian, Rasulullah, Utusan yang paling agung, Pemimpin sekalian umat beriman, seseorang yang tidak memiliki bandingan di antara hamba Allah lainnya, mengangkat Ali sebagai saudaranya.44

Komentar

Seorang Wahabi menyatakan: “Dulu ada sebuah aliran yang menyatakan bahwa Jibril melakukan kesalahan ketika menyampaikan pesan. Aliran ini disebut Syi`ah Ghurabiyyah. Sekarang aliran ini mungkin namanya sudah tidak ada lagi dan mereka berbeda dengan aliran dua belas imam.

Kami menjawab: “Sesungguhnya aliran Ghurabiyyah dan aliran sejenisnya adalah aliran yang diada-adakan oleh segelintir pengarang cerita seperti Syahrastani dan Abdul Qahir bin Thahir Baghdadi, dll.

Bagaimanapun, kami tidak menyangkal bahwa masih ada aliran-aliran ekstrim (al-Ghulat) sempalan dari Syi`ah yang menyakini bahwa Ali adalah Tuhan, atau orang-orang yang menyakini reinkarnasi (hulul). Alasannya adalah karena mereka menemukan begitu banyak kebaikan dalam diri Imam Ali, dan dengan pikiran mereka yang sempit, mereka tidak dapat mempercayai bahwa seorang manusia dapat memiliki begitu banyak kebaikan. Akibatnya, mereka meyakini ketuhanan Imam Ali. Tentu saja mereka sesat. Syukur kepada Allah mereka telah musnah ditelan sejarah. Namun para pemimpin kelompok sesat dan ekstrimis tersebut (yang para pemimpinnya mengangkat dirinya sebagai 'imam') bukanlah orang yang berpikiran sempit. Mereka adalah agen-agen penguasa tiran dan kegiatan mereka semata-mata bermuatan politis.

Para Imam Ahlulbait dan para pengikutnya melepaskan diri dari kelompok yang didirikan oleh pemerintah setiap zaman untuk menyesatkan para pengikut Ahlulbait dan menghancurkan jalan mereka dengan menjauhkan mereka dari para Imam dan menggiring mereka menjadi boneka-boneka pemerintah. Namun kelompok ini menghilang beberapa bulan setelah kemunculan mereka, karena orang-orang segera mengetahui kesalahan dan kejanggalan para pemimpin mereka dan hubungannya dengan para penguasa sehingga orang-orang tidak bergabung dengan kelompok ini. Sebuah kelompok tanpa anggota tidak akan bertahan lama, dan pemimpinnya akan segera melepaskan urusannya. Hal. yang tertinggal dari kelompok-kelompok palsu ini hanyalah sejarah yang ditulis oleh para tiran.

Kami tidak menyebut kelompok yang rusak itu sebagai kelompok Syi`ah. Sejak Nabi wafat hingga saat ini, pengikut Imam Ali bin Abi Thalib adalah pengikut Imam Dua Belas. Namun ada beberapa mazhab Syi`ah Zaydiyyah dan Ismailiyyah di dunia ini. Meskipun mayoritas ulama percaya bahwa mereka adalah Islam (kecuali mereka yang meninggalkan ajaran-ajaran Islam), kami menganggap mereka tidak masuk ke dalam pengikut Ahlulbait. Semua kelompok lain seperti Alawi atau Nudzayri, dll, bukan Syi`ah dan kehadiran mereka tidak berhubungan dengan Syi`ah. Untuk menjadi seorang Syi`ah seseorang harus memenuhi syarat berikut: 1) Meyakini semua rukun iman. Hal. ini sangat umum di kalangan umat Islam; 2) Meyakini bahwa Imam Ali bin Abi Thalib as adalah pelanjut Nabi Muhammad saw yang ditunjuk oleh Allah Swt; 3) Meyakini bahwa setiap orang harus mengikuti sunnah Nabi Muhammad yang sesungguhnya, dan sunnah ini disampaikan oleh Ahlulbait yang suci yang terlepas dari dosa menurut Quran. Selain itu, perintah para Imam Ahlulbait as sifatnya mengikat karena perintah itu adalah perintah Nabi Muhammad saw; 4) Meyakini bahwa Imam Mahdi as, putra imam kesebelas, masih hidup (berbeda dengan mayoritas kalangan Sunni yang meyakini bahwa ia belum atau akan lahir).

Apabila ada salah satu syarat tersebut tidak dimiliki seseorang, ia tidak dapat disebut Syi`ah. Selain itu, bertentangan dengan isu yang menyebar, mengutuk para sahabat bukan merupakan keyakinan kami.

Penanya dari mazhab Wahabi lebih jauh menyebutkan: Seorang Muslim yang menyatakan bahwa salah satu keyakinan Syi`ah adalah poin-poin di atas, tidak salah, karena mazhab Ghurabi adalah satu bagian dari mazhab Syi`ah sepanjang sejarah ini - tetapi mengatakan hal. ini kepada Itsna Asri keyakinan resmi adalah bukan hal. yang sebenarnya.

Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa penulis di atas melupakan banyak kelompok menyimpang yang memisahkan diri dari tubuh mazhab Sunni seperti yang menyakini bahwa Tuhan adalah seorang manusia. Tetapi kami belum pernah mendengar seorang Syi`ah menyatakan: “Seorang Muslim yang menyatakan bahwa salah satu keyakinan Sunni adalah poin-poin di atas, tidak salah karena mereka memisahkan diri dari kelompok Sunni - tetapi mengatakan bahwa hal. ini adalah keyakinan 'resmi' Sunni adalah salah.”

Anda dapat menggantikan kata 'Negara Islam' dengan 'mazhab Ahmadiyyah, …dan pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, dan anda dapat melihat betapa rancunya pernyataan di atas. Syukur kepada Allah bahwa kaum Syi`ah tidak menyatakan hal. tersebut kepada empat mazhab Sunni.

Catatan Kaki:

Lihat Shahih al-Bukhari, Arab-Inggris, hadis 8817.

Lihat Shahih al-Bukhari, hadis 5546, versi Arab-Inggris.

Ibnu Atsir, al-Kamil, vol. 3, hal. 98.

Beberapa referensi hadis Sunni menegaskan bahwa turunnya ayat Quran di atas terjadi sebelum Khutbah Nabi Muhammad saw. di Ghadir Khum: Tafsir al-Kabir, oleh Fakhruddin Razi, dalam tafsiran ayat 5:67, vol. 12, hal. 49-50 diriwayatkan dari sumber Ibnu Abbas, Bara bin Azib dan Muhammad bin Ali; Asbab an-Nuzul oleh Wahidi, hal. 50, diriwayatkan dari Atiyah dan Abu Sa`id Khudri; Nuzul al-Qur'an oleh Hafizh Abu Nu`aim diriwayatkan dari Abu Sa`id Khudri dan Abu Rafi; al-Fusul al-Muhimmah oleh Ibnu Sabbagh Maliki Makki, hal. 24; Durr al-Mantsur oleh Hafizh Suyuthi, dalam tafsir ayat QS. 5:67; Fath al-Qadir, oleh as-Syaukani, dalam tafsir ayat QS. 5:67; Fath al-Bayan oleh Hasan Khan, dalam tafsir ayat QS. 5:67; Syekh Muhiddin Nawawi, tafsir ayat QS. 5:67; as-Sirah al-Halabiyah oleh Nuruddin Halabi, vol. 3, hal. 301; Umdat al-Qari fi Syarh Shahih al-Bukhari oleh Aini; Tafsir Naisaburi, vol. 6, hal. 194; Dan banyak lagi seperti Ibnu Mardawaih, dll.

Beberapa referensi hadis Sunni: Shahih at-Turmudzi, vol. 2, hal. 298: vol. 5 hal. 63; Sunan ibn Majah, vol. 1, hal. 12, 43; Khasa'is oleh Nasa`i, hal. 4, 21; al-Mustadrak Hakim, vol. 2, hal. 129; vol. 3, hal. 109-110, 116, 371; Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. 1, hal. 84, 118, 119, 152, 330; vol. 4, hal. 281, 368, 370, 372, 378; vol. 5, hal. 35, 347, 358, 361, 366, 419 (dari 40 rantai perawi); Fadha`il ash-Shahabah, oleh Ahmad bin Hanbal, vol. 2 hal. 563,572; Majma`az-Zawa`id, oleh Haitsami, vol. 9, hal. 103 (dari banyak perawi); Tafsir al-Kabir oleh Fakhruddin Razi, vol. 12, hal. 49-50; Tafsir al-Durr al-Manshur oleh Hafizh Jalaluddin Suyuthi, vol. 3, hal. 19; Tarikh al-Khulafa oleh Suyuthi, hal. 169, 173; al-Bidayah wa an-Nihayah oleh Ibnu Katsir, vol. 3, hal. 213, vol. 5, hal. 208; Usd al-Ghabah oleh Ibnu Atsir, vol. 4, hal. 114; Mukhsil al-Atsar oleh Tahawi, vol. 2, hal. 307-308; Habib as-Siyar oleh Mir Khand, vol. 1, bagian 3, hal. 144; Sawiq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, hal. 26; al-Ishabah oleh Ibnu Hajar Asqalani; vol. 2, hal. 509; vol. 1, bagian 1, hal. 319; vol. 2, bagian 1, hal. 57; vol. 3, bagian 1, hal. 29; vol. 4, bagian 1, hal. 14, 16, 143; Tabrani, yang meriwayatkan dari para sahabat seperti Ibnu Umar, Malik bin Hawirath, Hab`ashi bin Junadah, Jari, Sa`d bin Waqqash, Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Amarah, Buraidah, …. ; Tarikh oleh Khatib Baghdadi, vol. 8, hal. 290; Hilyat al-Awliya` oleh Hafizh Abu Nu`aim, vol. 4, hal. 23; vol. 5, hal. 26-27; al-Istiab oleh Ibnu Abdul Barr, bab Kata '`ayn' (Ali), vol. 2, hal. 462; Kanz al-Ummal, oleh Muttaqi Hindi, vol. 6, hal. 154,137; al-Mirqat, vol. 5, hal. 568; ar-Riyad an-Nadhirah oleh Muhib Thabari, vol. 2, hal. 172; Dhaka'ir al-Uqbah, oleh Muhib Thabari, hal. 68; Faydh al-Qadir, oleh Manawi, vol. 6, hal. 217; Yanabi` al-Mawaddah, oleh Qunduzi Hanafi, hal. 297, dan beratus-ratus hadis lainnya. Lihat bagian 3 mengenai rincian referensi (ahli hadis, sejarahwan, dan ahli tafsir).

Beberapa referensi hadis Sunni yang menyebutkan peristiwa turunnya ayat di atas di Ghadir Khum setelah Nabi Muhammad saw menyampaikan khutbah di antaranya: al-Durr al-Mantsur oleh Hafizh Jalaluddin Suyuthi, vol. 3, hal. 19; Tarikh oleh Khatib Baghdadi, vol. 8, hal. 290, 596 dari Abu Hurairah; Manaqaib oleh Ibnu Maghazali, hal. 19; Tarikh Damaskus, Ibnu Asakir, vol. 2, hal. 75; al-Itqan oleh Suyuthi, vol. 1, hal. 13; Manaqaib oleh Khawarazmi, Hanafi, hal. 80; al-Bidayah wa an-Nihayah, oleh Ibnu Katsir, vol. 3, hal. 213; Yanabi` al-Mawaddah oleh Quduzi Hanafi, hal. 115; Nuzul Quran oleh Hafizh Abu Nu`aim diriwayatkan dari sumber Abu Sa`id Khudri dan masih banyak lainnya.

Referensi hadis Sunni: Musnad Ahmad bin Hanbal, vol. 4, hal. 281; Tafsir al-Kabir oleh Fakhruddin Razi, vol. 12, hal. 49-50; Misykat al-Masabih oleh Khatib Tabrizi, hal. 557; Habib as-Siyar oleh Mir Khand, vol. 1, bagian 3, hal. 144; Kitab al-Wilayah oleh Ibnu Jarir Thabari; al-Musannaf oleh Ibnu Abi Shaibah; al-Musnad oleh Abu Ya`ala; Hadis al-Wilayah oleh Ahmad bin Uqdah; Tarikh oleh Khatib Baghdadi, vol. 8, hal. 290, 596 dari Abu Hurairah dan banyak lagi.

Referensi hadis Sunni: al-Khasa`is oleh Nasa`i, hal. 21. Dzahabi berkata hadis ini otentik, seperti yang dinyatakan pada Tarikh Ibnu Katsir, vol. 5, hal. 208.

Referensi hadis Sunni: Manaqib oleh Khawarizmi, hal. 94.

Referensi hadis Sunni: Manaqib, oleh Ibnu Jawzi.

Referensi hadis Sunni: Tafsir at-Tsa`labi oleh Ishaq Tsa`labi, menafsirkan surah 70 ayat 1-3 dari dua rangkai perawi; Nur al-Abshar, oleh Syablanji, hal. 4; al-Fush al-Muhimmah oleh Ibnu Sabbagh Maliki, hal. 25; as-Sirah al-Halabiyah oleh Nuruddin Halabi, vol. 2, hal. 241; Arjah al-Mathalib; Nazat al-Mujalis dari Qurthubi.

Referensi hadis Sunni: al-Mustadrak oleh Hakim, vol. 3, hal. 169, 371; Musnad Ahmad Ibn Hanbal, dari sumber Ilyas Dzabbi; Muruj adh-Dhahab oleh Mas`udi, vol. 4, hal. 321; Majma az-Zawa'id oleh al-Haitsami, vol. 9, hal. 107.

Referensi hadis Sunni: Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. 4, hal. 370.

Referensi hadis Sunni: Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. 1, hal. 119, lihat juga vol. 5, hal. 366; Khasa`is; oleh Nasa`i, hal. 21, 103, diriwayatkan serupa dari 3 sumber lainnya: Umayah bin Sa`d, Zaid bin Yathigh, dan Sa`id bin Wahhab.

Referensi hadis Sunni: al-Ma`arif oleh Ibnu Qutaibah, hal. 14, mengenai Anas diantara orang-orang yang cacat; Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. 1, hal. 199. Ia bersaksi terhadap anekdot di atas, seperti yang ia katakan : ”Semua orang berdiri kecuali tiga orang yang tertimpa kutukan Ali.”; Hilyat al- Awliya`, oleh Abu Na`aim, vol. 5, hal. 27.

A`alam al-Wara, hal. 132-133; Tadzkirat al-Khawas al-Ummah, Sibt bin Jawzi Hanafi, hal. 28-33; as-Sirah al-Halabiyyah, Nuruddin Halabi, vol. 3. hal. 273.

Referensi bahasa Arab: Elias, Kamus Modern, oleh Elias, Arab-Inggris, hal. 815-816, Libanon; al-Munjid fi al-Lughah, vol. 1.

Shahih at-Turmudzi, vol. 5, hal. 642; Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. 4, hal. 317; Mustadrak Hakim, vol. 3, hal. 111,136, Sirah ibn Hisyam, hal. 345, Tabaqat, oleh Ibnu Sa`d, vol. 3, hal. 71,72; al-Istiab, oleh Ibnu Abdul Barr, vol. 3, hal. 30.

Shahih at-Turmudzi, vol. 5, hal. 363; Sirah ibn Hisyam, hal. 504; Tahdzib, vol. 4, hal. 251.

Shahih Muslim, vol. 1, hal. 48; Shahih at-Turmudzi, vol. 5, hal. 643, Sunan ibn Majah, vol. 1, hal. 142; Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. 1, hal. 84,95,128.

Referensi hadis Sunni: Syam al-Akhbar, Qurasyi, Ali bin Hamid, hal. 38; Salwat al-'Arifin, Muwaffaq Bi Allah, al Husain bin Isma`il Jurjani.

Referensi hadis Sunni: Fara`id as-Samtain oleh Hamaini (Abu Ishaq Ibrahim bin Sa`duddin bin Hamawiyah), bagian 38.

Referensi hadis Sunni: ash-Shawa`iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab II, sub bab 1, hal. 299 dikutip dari Wahidi, juga dikutip dari Dailami dari sumber Abi Sa`id Khudri; Fara`id as-Samatain oleh Hamawaini (Abu Ishaq Ibrahim bin Sa`duddin bin Hamawiyah), bagian 14; Nudhum Durr as-Samtain oleh Jamaluddin Zarandi; ar-Rashfah oleh Hadhrami, hal. 24.

Beberapa ahli dari mazhab Sunni berikut ini semuanya menegaskan arti kata di atas: Wahidi (d.468) dalam al-Wasit; Akhfasy Nahwi (w. 215) dalam Nihayat al-Uqul; Tsa`labi (427), dalam al-Kasyf wa al-Bayan; Ibnu Qutaibah (w. 276), dalam al-Qurtayan, vol. 2, hal. 164.”; Kalbi (w.146, dikutip dalam Tafsir al-Kabir oleh Razi, vol. 29, hal. 227); Farra` (seperti yang dikutip dalam Ruh al-Ma`ani oleh Alusi, vol. 27, hal. 178); asafi (w.701), dalam tafsirnya, vol. 4, hal. 229; Thabari (d.310), dalam Tafsir at-Thabari vol. 8, hal. 117; Bukhari (d.215), dalam Shahih al-Bukhari vol. 7, hal. 217; Zamakhsyari (d.538), dalam Tafsir al-Kasysyaf, vol. 2, hal. 435; Qadhi Nasruddin Baidhawi (d.692), dalam Tafsir al-Baydhawi vol. 2, hal. 497; Khazin Baghdadi (d.741), dalam tafsir-nya, vol. 4, hal. 229; Muhibuddin Affandi, dalam Tanzil al-Ayat; Mu`ammar bin Mutsanna Basri (seperti yang dikutip dalam Syarh al-Mawaqif oleh Syarif Jurjani, vol. 3, hal. 271); Abu Abbas, Tsa`lab (seperti yang di kutip dalam Syarh Sab`ah al-Mu`allaqah oleh Zuzani); bin Abbas, dalam tafsirnya yang ditulis pada garis tepi Durr al-Mantsur, vol. 5, hal. 355; Abu Saud Hanafi (w. 972), dalam tafsirnya. Dan masih banyak lagi seperti Yahya bin Zaid Kufi (w. 207), Abu Ubaidah Basri (w. 210), Abu Zaid bin Aus Basri (w. 125), Abu Bakar Anbari (w. 328), Abu Hasan Rummani (d.384), Sa`duddin Taftazani (w. 791), Shabauddin Khafaji (w. 1069), Ham Zawi Maliki (w. 1303), Husain bin Mas`ud (w. 510), Abu Baqa Ukbari (d. 616), Ibnu Hajar Haitsami (d.974), Syarif Jurjani (w. 618), Abdul Abbas Mubarrad (w. 285), Abu Nasr Farabi (w. 393) dan Abu Zakariya Khatib Tarizi (w. 502); Shahih al-Bukhari, Arab-Inggris hadis 5688, 7458, dan 9539. Berikut ini beberapa referensi hadis Sunni yang menyebutkan turunnya ayat Quran di atas yang isinya untuk menghormati Imam Ali; Tafsir al-Kabir, oleh Ahmad bin Muhammad Tsa`labi, pada ayat 5:55; Tafsir al-Kabir oleh Ibnu Jarir Thabari, vol. 6, hal. 186, 288, 289; Tafsir Jami` al-Hukam Quran, oleh Muhammad bin Ahmad Qurthubi, vol. 6, hal. 219; Tafsir Khazin, vol. 2, hal. 68; Tafsir al-Durr al-Mantsur oleh Suyuthi, vol. 2, hal. 293, 294; Tafsir al-Kasysyaf oleh Zamakhsyari, Mesir 1373, vol. 1, hal. 505-649; 'Ashab an-Nuzul oleh Jalaluddin Suyuthi, Mesir 1382, vol. 1, hal. 73 pada sumber Ibnu Abbas; 'Ashab an-Nuzul oleh Wahidi; Syarh at-Tajrid oleh Allamah Qusyji; Ahkam Quran, Jassas, vol. 2, hal. 542-543; Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. 5, hal. 38; Kanz al-Ummal, oleh Muttaqi Hindi, vol. 6, hal. 391; al-Awsat, oleh Tabarani, diriwayatkan dari Ammar Yasir; Ibnu Mardawaih, dari sumber Ibnu Abbas dan masih banyak lagi.

Referensi hadis Sunni: Fadha`il ash-Shahabah oleh Ahmad bin Hanbal, vol. 3, hal. 654, hadis #1114; ar-Riyadh an-Nadhirah oleh Muhibuddin Thabari, vol. 3, hal. 229; Tarikh al-Khulafa oleh Hafizh Jalaluddin Suyuthi, hal. 171; Dhakha'ir al-Uqbah oleh Muhibbuddin Thabari, hal. 89; as-Shawa`iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, Bab 9, bagian 3, hal. 196; Dan lain-lainnya seperti Tabrani dan Ibnu Abi Hatam.

Referensi hadis Sunni: Ibnu Asakir, seperti yang dikutip pada: Tarikh al-Khulafa oleh Hafizh Jalaluddin Suyuthi, hal. 171; as-Shawa`iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, Bab 9, bagian 3, hal. 196.

Referensi hadis Sunni: Khasa`is oleh Nasa`i, hal. 21; al-Mustadrak oleh Hakim, vol. 3, hal. 109.

Referensi hadis Sunni: Khasa`is oleh Nasa`i, hal. 6.

Referensi Hadis Sunni: Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. 5, hal. 419.

Referensi hadis Sunni: Hilyat al-Awliya oleh Abu Nu`aim, vol. 1, hal. 84, 86; al-Mustadrak oleh Hakim, vol. 3, hal. 128; al-Jami` al-Kabir oleh Tabarani; al-Ishabah oleh Ibnu Hajar Asqlani; Kanz al-Ummal, vol. 5, hal. 155; al-Manaqib, oleh Khawarizmi, hal. 34; Yanabi` al-Mawaddah oleh Qunzubi Hanafi, hal. 49; Tarikh bin Asakir, vol. 2, hal. 95.

Referensi hadis Sunni: Tafsir al-Kabir oleh Fakhruddin Razi, pada tafsir al-Bismillah.

Referensi hadis Sunni: Shahih Tirmidzi, vol. 5, hal. 297. Berikut ini beberapa referensi hadis Syi`ah: Bihar al-Anwar oleh Allamah Majlisi; Tafsir al-Mizan oleh Allamah Thabathaba'i; Tafsir al-Kasysyaf oleh Allamah Husain Muhammad Jawad Mughniyah; al-Ghadir oleh Allamah Abdul Husain Ahmad Amini; asbat al-Hudate oleh Allamah Muhammad bin Hasan Amuli; Berikut ini beberapa referensi tafsirnya: Tafsir al-Kabir oleh bin Ahmad, Ibnu Muhammad, Tsa`labi, dalam QS. 5:55; Tafsir al-Kabir oleh Jarir Thabari, vol. 6, hal. 186, 288-289; Tafsir Jam`al-Hukam al-Qur`an oleh Muhammad bin Ahmad Qurthubi, vol. 6, hal. 219; Tafsir al-Khazin, vol. 2, hal. 68; Tafsir al-Durr al-Mantsur, oleh Suyuthi, vol. 2, hal. 293-294; Tafsir al-Kasysyaf oleh Zamakhsyari, Mesir 1373, vol. 1, hal. 506, 649; Ashab Nuzul oleh Jalaluddin Suyuthi, Mesir 1382, vol. 1, hal. 73 dengan sumber Ibnu Abbas; Ashab Nuzul oleh Wahidi, dari sumber Ibnu Abbas; Syarh at-Tajrid oleh Allamah Qushji; Ahkam al-Qur`an, Jassas, vol. 2, hal. 542, 543; Musnad Ahmad bin Hanbal, vol. 3, hal. 38; Kanz al-Ummal, oleh Muttaqi Hindi, vol. 6, hal. 391, hadis 5991; al-Aswat oleh Tabarani, diriwayatkan dari Ammar Yasir; Ibnu Mardawaih, dari sumber Ibnu Abbas; Shahih Nasa`i atau tafsir surah al-Maidah pada kitab Jam'a Bayn as-Shihah as-Sittah. Dalam Ghayah al-Maram, hal. 18, Sayyid Bahraini menampilkan 24 hadis dari sumber-sumber selain Ahlulbait, semua mendukung fakta di atas.

Tafsir al-Kabir, Tsa`labi dalam Tafsir QS. 5:55-56.

Referensi hadis Sunni: Tafsir al-Kasysyaf, oleh Zamakhsyari vol. 1, hal. 649.

Referensi hadis Sunni: Shahih al-Bukhari, versi Arab-Inggris, Hadis 5.56, 5700; Shahih Muslim, bahasa Arab, vol. 4, hal. 1870-71; Sunan ibn Majah, hal. 12; Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. 1, hal. 174; al-Khasa`is, oleh Nasa`i, hal. 15-16; Musykil al-Atsar, oleh Tahawi, vol. 2, hal. 309. Referensi hadis Sunni yang lain: Kitab Tarikh at-Thabari, versi Bahasa Inggris, vol. 6, hal. 88-91; Tarikh Ibnu Atsir, vol. 2, hal. 62; Tarikh Ibnu Asakir, hal. 85; Tafsir al-Durr al-Mantsur, oleh Hafizh Jalaluddin Suyuthi, vol. 5, hal. 97; Tafsir al-Khazin, oleh Ala`uddin Syafi`i, vol. 3, hal. 371; Shawahid at-Tanzil, oleh Hasakani, vol. 1, hal. 371; Kanz al-Ummal, oleh Muttaqi Hindi, vol. 15, hal. 15, hal. 100-117; as-Sirah al-Halabiyah, vol. 1, hal. 311; Dala'il an-Nabawiyah, oleh Baihaqi, vol. 1, hal. 428-430; al-Mukhtasar, oleh Abu Fida, vol. 1, hal. 116-117; Hayat Muhammad, oleh Husain Haikal, hal. 104 (Hanya edisi bahasa Arab saja. Pada edisi kedua, kalimat terakhir Nabi Muhammad dihilangkan); Tahdzib al-Atsar, vol. 4, hal. 62-63; Referensi hadis Sunni: Tarikh at-Thabari, versi bahasa Inggris, vol. 6, hal. 91-92.

Referensi hadis Sunni : Tarikh, oleh Khatib Baghdadi.

Artikel berikut ini diambil dari buku berjudul Nabi Muhammad ditulis oleh Muhammad Jawad Chirri. Peristiwa yang menjadi pembahasan adalah ketika Nabi Muhammad diperintah Allah untuk menyebarkan ajarannya kepada kerabatnya.

Referensi hadis Sunni: Shahih Muslim, vol. 3, hal. 79-80.

Referensi Hadis Sunni: Majma`az-Zawaid, oleh Haitsami, vol. 8, hal.n 314; Juga di sebutkan oleh Tabarani.

Lihat at-Tabaqat, oleh Ibnu Sa`d, vol. 8, hal. 327).

Lihat as-Sirah al-Halabiyyah, oleh Ali bin Burhanuddin Halabi, vol. 1, hal. 321.

Artikel berikut ini diambil dari buku Syi`i Under Attact oleh Muhammad Jawad Chirri dengan beberapa penambahan.

Referensi hadis Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 5, hal. 634; Fada`il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 571, hadis 966; ar-Riyadh an-Nadhirah, Muhibuddin Thabari, jilid 3, hal. 152; Tabaqat, Ibnu Sa`d, jilid 1, hal. 349; Matalib al-`Aliyah, jilid 4, hal. 56; Majma` az-Zawa`id, Haitsami, jilid 9, hal. 163.

As-Sirah an-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, bag. 1, hal. 505.

Tidak ada komentar: