Rabu, 05 September 2007

kutipan pengantar tafsir esoteris

Tafsir Esoteris Qur'an PDF Print E-mail
Jul 21, 2007 at 01:35 PM
Oleh: el-Hurr
"Manakala disebut-sebut ihwal tafsir-tafsir al-Qur’an, maka akan muncul dalam benak kita bahwa semuanya ini biasanya sikaitkan dengan karya-karya besar dan khusus, dengan kerangka penafsiran komprehensif yang meliputi seluruh ak-Qur’an yang dimulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir. Dengan mengabaikan fakta bahwa hampir setiap karya yang membicarakan agama Islam melibatkan, secara langsung maupun tidak langsung, pemahaman tertentu tentang al-Qur’an dan penafsiran tertentu atas ayat-ayat tertentu pula. Disebabkan adanya fakta yang jelas bahwa keseluruhan agama Islam berkisar pada kitab ini. Kadang-kadang, bahkan suatu rujukan tertentu pada suatu ayat menunjukkan penafsiran yang implisit dan khas atasnya. Ini secara khusus berlaku atas esoterime Islam."

Manakala disebut-sebut ihwal tafsir-tafsir al-Qur’an, maka akan muncul dalam benak kita bahwa semuanya ini biasanya sikaitkan dengan karya-karya besar dan khusus, dengan kerangka penafsiran komprehensif yang meliputi seluruh ak-Qur’an yang dimulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir. Dengan mengabaikan fakta bahwa hampir setiap karya yang membicarakan agama Islam melibatkan, secara langsung maupun tidak langsung, pemahaman tertentu tentang al-Qur’an dan penafsiran tertentu atas ayat-ayat tertentu pula. Disebabkan adanya fakta yang jelas bahwa keseluruhan agama Islam berkisar pada kitab ini. Kadang-kadang, bahkan suatu rujukan tertentu pada suatu ayat menunjukkan penafsiran yang implisit dan khas atasnya. Ini secara khusus berlaku atas esoterime Islam.

Bisa disimpulkan, bahwa, seluruh esetoris Islam pada dasarnya adalah penafsiran esetoris atas al-Qur’an. oleh karena itu, tafsir-tafsir esoteris al-Qur’an berkisar dari karya-karya yang ditulis untuk tujuan khusus berupa tafsir esoteris yang tersebar di segala jenis karya esoteris Islam.

Bahasa Simbolisme

Tafsir-tafsir esoteris atas al-Qur’an pada dasarnya disatukan melalui prinsip simbolisme, sebagaimana dipahami dalam pengertian tradisionalnya. Bahkan, simbolisme berfungsi sebagai kata kunci untuk semua itu sehingga tafsir-tafsir itu juga bisa disebut sebagai “tafsir-tafsir simbolis”. Proses penafsiran simbolis dan espteris disebut ta’wil, yang secara teknis bermakna hermeneutika simbolis dan spiritual. Akan tetapi secara etimologis, ia berarti membawa sesuatu kembali kepada awalnya, yaitu awal atau asal-usulnya; dengan demikian, membawa atau mengikuti simbol-simbol kembali kepada asal-usul yang dilambangkannya.

Ta’wil berlaku untuk segala jenis simbol, baik di alam, dalam dunia manusia, maupun dalam teks wahyu. Al-qur’an sendiri menggunakan kata ayat, tanda-tanda atau isyarat-isyarat, untuk ayat-ayatnya sendiri serta untuk objek-objek dan peristiwa-peristiwa di dalam dunia alam dan jiwa manusia.

Sejauh menyangkut al-qur’an, para penafsir esoteris biasanya mengacu pada empat jenis ata empat lapisan simbolisme, dan sebagai konsekwensinya, empat ta’wil. Pertama, al-Qur’an, kalam Allah swt. secara keseluruhan adalah simbol paling langsung dari alam spiritual. Ia mewujud dalam huruf-huruf dan suara “ suatu kehadiran spiritual aktif dan konkret” yang bisa secara langsung menuntun pada kesadaran. Pengaruh dari totalitas al-Qur’an pada tataran simbolisme pertama tidak selalu bersesuaian dengan penafsiran tertentu atas masing-masing ayat al-Qur’an yang dijumpai pada tafsir-tafsir esoteris.

Tujuan akhir ta’wil pada tahap ini adalah kesadaran, melaui interiorisasi esensi Ilahi dari al-Qur’an, dan bukan melalui penulisan tafsir-tafsir itu. Tapatnya, tafsir-tafsir esoteris, dalam hubungannya dengan pengertian pertama ini bukanlah ta’wil, melainkan hasil-hasil tak langsungnya. Semua itu adalah upaya untuk mengungkapkan, dalam bahasa manusia, pengaruh dari pengalaman spiritual, manusiawi-Qur’ani-Ilahi.

Jenis simbolisme kedua di dalam al-Qur’an adalah acuannya yang banyak pada simbol-simbol objektif yang ada di luar dunia alam dan di dalam diri manusia. Di sini simbolisme al-Qur’an bertemu dan mengandung dua jenis simbolisme utama lainnya yang disebut sebelumnya, yakni simbol-simbol makrokosmis di jagat raya dan simbol-simbol di alam makrokosmis manusia. Langit, matahari, bulan, bintang-bintang, lautan, burung-burung, pepohonan dan hati manusia hanyalah sebagiankecil dari banyak simbol yang dijumpai dalam al-Qur’an. inilah simbol-simbol dalam pengertian bahwa semua itu menuntun kembali pada realitas-realitas lebih tinggi yang dilambangkannya dan berperan serta di dalamnya secara mandiri dan terpisah dari pilihan atau persetujuan apa pun dari pihak kita. Semua itu bukanlah simbol-simbol yang lazim atau literer, tetapi begitu alamiah dan objektif sehingga tetap ada, entah kita menginginkannya ada atau tidak ada, entah kita menyadarinya atau tidak. Konsekwensinya, ada banyak tafsir esoteris yang mengacu pada jenis simbol ini, dan makna-maknanya dijelaskan melalui pembacaan al-Qur’an serta melalui perenungan langsung atas dunia luar dan dunia dalam.

Lapisan ketiga dari simbolisme al-Qur’an berkenaan dengan simbol-simbol al-Qur’an tertentu. Ketika, misalnya, Nabi Musa berada di Lembah suci Thuwa’ dan diperintahkan oleh Allah untuk melepaskan sandalnya. [1] para penafsir esoteris biasanya menafsirkan kni sebagai berhubungan dengan badan dan jiwa, atau keterikatan dengan dunia ini dan akhirat nanti. Akan tetapi sandal itu di sini bukanlah simbol alam, karena benda itu adalah buatan manusia dan tidak ada di dunia luar yang tidak bergantung pada tindakan-tindakan manusia. Yang juga termasuk simbol-simbol khas al-Qur’an adalah “pena” (al-Qalam) dan “lembaran” (al-Lauh), sekalipun keduanya adalah kiasan langsung untuk prinsip maskulin dan prinsip feminin di dunia alam, yang pada gilirannya merupakan simbol-simbol objektif dan universal dari prinsip-prinsip kosmis yang lebih tinggi. Karena itu, seluruh tataran struktur simbolis al-Qur’an pada hakikatnya berkaitan datu sama lain.[2]

Di samping totalitas kitab sebagai sebuah simbol dan masing-masing katanya sebagai simbol universal ata simbol khas, simbolisme dalam huruf yang tersusun menjadi kata dan Kitab itu secara keseluruhan telah diuraikan oleh para penafsir esoteris. Di sini mereka memusatkan perhatian terutama pada muqaththa’ah atau fawatih al-suwar, huruf-huruf dari abjad arab yang terpisah di awal beberapa surah al-Qur’an. terutama adalah alif (padanan Arab untuk huruf a) yang telah menarik perhatian para penafsir esoteris sebab ia sesungguhnya ada;ah huruf pertama dari abjad dan yang pertama dari “huruf-huruf terpisah” dalam al-Qur’an serta muncul di awal surah kedua, al-Baqarah (“sapi betina”), sura paling panjang dalam al-Qur’an.[3]

Para penafsir esoteris melihat di dalamnya suatu simbol dari Yang Maha Esa – Yang Maha Mencakupi dan tidak bergantung pada apa pun, dan bahkan merupakan asal-usul dari segala sesuatu. Di seputar penafsiran simbolis al-muaqaththa’ah yang membahas simbolisme angka dari seluruh huruf dalam abjad, dan angka-angka itu sendiri diperhitungkan dalam makna simbolisnya.

Unsur-unsur pembacaan simbolis al-Qur’an ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an sendiri. Sesungguhnyalah, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa prinsip-prinsip tafsir esoteris-simbolis atas al-Qur’an terejawantah di dalam al-Qur’an sendiri. Dengan demikian, dalam satu pengertian, al-Qur’an adalah tafsir pertama dan, dengan sendirinya, paling baik atas dirinya. Aturan tafsir terkenal yang mengatakan bahwa sebagian al-Qur’an menjelaskan bagian lainnya (al-Qur’an yufassiru ba’dhuhum ba’dhan) bukan hanya sebatas tataran eksoteris saja, melainkan juga berlaku pada tataran esoteris pula. Terbatasnya ruang di sini tidak memungkinkan untuk menjelaskan secara panjang lebar persoalan ini, dan hanya beberapa ayat al-Qur’an yang dapat dikemukakan.[4]

Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) ada dirimu sendiri. Tidakkah kamu memperhatikan? Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu, dan terdapat pula apa yang dijanjikan kepadamu (al-Dzariyat: 20-22)

Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (Yasin: 36)

Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi…(alThalaq: 12)

Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti dirimu (al-An’am: 38)

Dia menciptakan untukmu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan pula… (al-Syura: 11)

Dari beberapa ayat di atas, hubungan yang diuat al-Qur’an antara berbagai aspek alam dan antara alam secara keseluruhan, manusia, dan realitas-realitas spiritual yang lebih tinggi tampak sangat jelas. Apa yang ada di bawah secara umum berhubungan dengan realitas-realitas “yang lebih tinggi” “di atas “; dan apa yang ada “di atas” hanyalah symbol dari apa yang ada di dalam atau bathin.

Siapa pun yang mengenal kualitas sintesis dari bahasa Arab akanmengetahui sewaktu membaca al-Qur’an sebagaimana ia memamfaatkan sepenuhnya kelebihan ini. Misalnya saja, sebuah istilah Arab bisa menunjukkan makna realitas-realitas yang berbeda (secara jelas), yang menyampaikan pesan bahwa realitas-realitas yang dapat ditangkap indra tak lain adalah refleksi dari yang lebih tinggi dalam hierarki wujud.

Sunnah dan Tafsir Esoteris

Setelah al-Qur’an, sumber kedua tafsir esoteris adalah sunnah, hadits Nabi, dengan dua cabang utamanya –hadits Nabi (hadits Nabawi) dan hadits suci (hadits qudsi). Sebagaimana ada tafsir-esoteris atas al-Qur’an, ada pula tafsir esoteris atas hadits, suatu hal yang biasanya diabaikan. Tafsir-tafsir ini menemukan dalam hadits, selain tafsir-tafsir langsung atas ayat-ayat al-Qur’an, prinsip-prinsip simbolisme yang terdapat dalam al-Qur’an, seperti misykat al-anwat, karya al-Ghazali, dan Fushush al-Hikam, karya Ibn Arabi, sesungguhnya adalah tafsir-tafsir atas al-Qur’an dan hadits.[5] Demikian pula karya Ibn Atha’ Allah al-Iskandar, lathaif al-Minan, yang memuat juga tafsir al-Qur’an. bagaimanapun, titik tolak bagi seluruh tafsir esoteris atas al-Qur’an adalah hadits terkenal yang menyatakan bahwa “al-Qur’an memiliki dimensi lahiriah dan batiniah”, suatu ucapan dari Nabi, dengan beberapa variasi keredaksian.

Hanya, harus ditambahkan bahwa, bagi kaum muslim Syi’ah, konsep hadits mencakup juga, selain hadits-hadits Nabi, hadits-hadits yang diriwayatkan dari para Imam, dan ini membawa kita pada sumber ketiga dari tafsir esoteris al-Qur’an dalam periode awalnya. Di antara sahabat-sahabat Nabi, Imam Ali bin Abi Thalib as, Abdullah Ibn Mas’ud dan Abdullah Ibn Abbas, adalah yang paling menonjol sejauh menyangkut tafsir pada umumnya. Akan halnya ta’wil, beberapa tafsir tentang “huruf-huruf terpisah” dinisbahkan kepada Ibn Abbas.[6] Jika kita mempertimbangkan fakta bahwa ada banyak sekali ucapan yang dimasukkan dalam tafsir eksetoris itu sendiri, terutama yang berkaitan dengan tafsir bil ma’tsur (tafsir berdasarkan riwayat-riwayat), maka kita akan menyadari betapa dalamnya esoterisme telah merembes ke dalam tradisi tafsir secara keseluruhan.

Para Filosof dan Tafsirnya

Tafsir al-Qur’an terdapat dalam karya para filosof Islam sejak akhir abad ke-3 H/ke-9 M dan paruh pertama abad ke-4/ke-10 M, yakni masa Abu Nash al-Farabi (w. 339H/950 H), Ibnu Sina, yang hidup pada abad ke-4 H/ke-10 M dan ke-5 M/ke-11 H, juga meninggalkan tafsir-tafsir atas sekurang-kurangnya tiga surah al-Qur’an terakhir yang pendek, tetapi sangat penting, yakni ayat cahaya, dan beberapa ayat al-Qur’an lainnya untuk kita. Hanya barangkali yang paling penting dari tulisan-tulisannya dalam bidang ini adalah risalah Nairuziyyah, “tentang makna huruf-huruf dalam abjad di awal beberapa surah al-Qur’an”.

Karya terakhir ini terutama didasarkan pada tradisi tafsir-esoteris atas al-Qur’an dalam bahasan simbolisnya atas “huruf-huruf terpisah”, yang telah digali sejak masa jauh sebelum Ibn Sina. Setelah Ibn Sina, kita mengenal upaya lain untuk menggabungkan filsafat dengan tafsir al-Qur’an oleh syaikh al-Isyraq al-Suhrawardi, yang lebih tepat disebut sebagai seorang teosof (hakim) dari pada seorang filosof dalam pengertian umum. Dia melangkah lebih jauh dengan mencari dukungan dalam al-Qur’an untuk gagasan-gagasannya, dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an dalam konteks diskusi-diskusi teosofisnya. Di samoing memiliki signifikansinya tersendiri, disebut-sebutnya ayat-ayat al-Qur’an ini jelas melibatkan tafsir-hermeneutika atas teks suci.[7]

Teosofi Suhrawardi dan usahanya untuk menyingkirkan rintangan-rintangan di antara dua tradisi filsafat Islam dan tafsir al-Qur’an bergaung di Persia yang beraliran Syi’ah. Teosofi “iluminasinya” yang diambil oleh aliran Syi’ah dan beberapa penafsirannya atas Ibn Sina yang “esoteris”, berikut doktrin-doktrin makrifat sufi Ibn Arabi, akhirnya menimbulkan suatu gerakan intelektual besar yang diwakili oleh sekelompok hukama, atau para sufi, yang sekaligus menjadi penafsir-penafsir al-Qur’an.

Tafsir-tafsir Syi’ah

Makna penting historis dan doctrinal dari tafsir esoteris atas al-Qur’an, lebih lanjut ditekankan oleh fakta bahwa desakan pada keharusan tafsir ini dan msalah otorits yang kepadanya ia mesti dipercayakan merupakan dua hal pokok yang dengannya mazhab Syi’ah membedakan dirinya dari Islam mazhab Sunni. Inilah tepatnya yang terjadi pada dua cabang utama mazhab Syi’ah dua belas Iman dan Mazhab Ismailiyah. Pentingnya eksistensi makna esoteris dalam al-Qur’an merupakan gagasan yang diyakini oleh mazhab Syia’h dan tasawuf, yang sebagian besar hidup di dunia Sunni. Akan tetapi, dalam analisis terakhir, tasawuf melampaui dikotomi Sunni-Syi’ah. Hal kedua inilah, yakni keharusan adanya otoritas yang sah, yang lebih jauh menandai mazhab Syi’ah dan pandangannya tentang tafsir al-Qur’an.

Bagi kalangan penganut Syi’ah, menafsirkan al-Qur’an hanya boleh dilakukan oleh para Imam. Mereka adalah para penerus Nbai, yang kepadanya Kitab Mulia itu diwahyukan dan pemahaman sepenuhnya diberikan. Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa seorang ulama syi’ah yang berkemampuan tidak boleh memberikan sumbanganny pada bidang penafsiran. Siapa saja yang mampu, terutama dari segi spiritual, beloh melakukannya. Hanya “mampu secara spiritual”, sesungguhnya adalah cara lain untuk mengatakan bahwa penafsir itu telah berhasil menjalin “kontak batin” dengan para Imam, yang diwakili, dalam mazhab Syi’ah Dua Belas Imam, oleh Imam kedua belas dan terakhir, yakni al-Mahdi as. pentingnya segi batin al-Qur’an, di satu sisi dan para Imam sebagai penafsirnya dalam fungsi-fungsi kosmis, inisiatif, dan sosial lainnya, di sisi lain, telah memberi mazhab Syi’ah nada esetoris yang melekat, bahkan dalam dimensi-dimensi esoterisnya yang sangat jelas. Cirri ini terutama tampak dalam tafsir-tafsir eksoteris Syi’ah atas al-Qur’an. seseorang yang membaca tafsir-tafsir yang jelas bersifat eksoteris karya al-Thusi dan al-habarsi, misalnya, harus menangkap hakikiat esoteris yang mendasari tafsir-tafsir tersebut melalui fakta keberadaan diri mereka sebagai penganut Syi’ah dan keyakinan mereka yang sangat besar kepada para Imam.

Kembali kepada para teosof-penafsir Syi’ah dalam periode yang dimulai sejak abad ke-8 H/ke-14 M, tokoh pertama yang harus dikemukan adalah Haidar Amuli (w. setelah 794 H/1392 M). dia menulis sebuah tafsir makrifat, dalam tujuh jilid tebal, yang masih dalam bentuk manuskrip. Di dalamnya dia mengemukakan bukan hanya tafsir-tafsir ayat demi ayat, melainkan juga suatu teori umum tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan hermenutika spiritual. Satu generasi kemudian, Sha’in al-Din Ali Ishfahani (w. 830 H/1427 M) menyusun sebuah risalah, yang masih belum diterbitkan, yang di dalamnya dia memusatkan perhatiannya pada satu ayat pendek al-Qur’an, telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan (al-Qamar: 1) dengan menggali semakin dalam makna al-Qur’an.

Akan tetapi, di tangan Shadr al-Din Syirazi (w. 1050 H), yang juga dikenal dengan Mulla Shadra, sintesis antara tiga aliran intelektual Islam yaitu makrifat, sufi, filsafat atau teosofi, dan teologi Syi’ah akhirnya tercapai, dan secara langsung tercermin dalam bidang tafsir esoteris atas al-Qur’an.[8]

Sebagaimana Rumi diyakini sebagai suatu fenomena unik dikalangan para penyair Islam, Mulla Shadra dari Syiraz juga dipandang memiliki “suatu perbedaan unik” di kalangan para filosif Islam. Al-Qur’an senantiasa hadir dalam benak dan jiwa kedua orang ini, ketika mereka menyusun karya-karya puisi dan filsafat. Dalam kasus Mulla Shadra, pengaruh al-Qur’an tidak berhenti dengan kutipan-kutipan langsung dari teks suci dalam seluruh tulisannya. Pengaruh itu pun terasa dalam sumbangan besar yang diberikannya secara langsung pada bidang tafsir dan menjadikannya “seorang penafsir utama al-Qur’an” yang sejajar dengan para penafsir dalam sejarah Islam. Mulla Shadra dianggap sebagai “barangkali filosof Islam terbesar” dan pada saat yang sama, tanpa pengaruh langsung dari al-Qur’an, tulisan-tulisannya tidak mungkin dapat dipahami. Inilah bukti lebih lanjut dari pentingnya alQur’an dan pemahamannya dalam sejarah intelektual Islam.

Seorang rekan sezaman Mulla Shadra, Sayyid Ahmad Alawi, jug amenulis dalam bahasa Persia sebuah tafsir tentang surah-surah al-Qur’an yang berbeda, yang dianggap sebagai salah satu tafsir makrifat dan teosofis yang menonjol di dunia Syi’ah. Sayangnya naskah inipun masih belum diterbitkan. Mulla Muhsin Faidh al-Kasyani (w. 1090 H), seorang muris dan anak tiri Mulla Shadra, juga menulis sebuah tafsir bil ma’tsur (berdasarkan riwayat), yang terutama didasarkan pada riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada para Imam. Ini semua terus berlanjut dalam dunia Syi’ah Dua Belas Imam sampai sekarang. Salah seorang murid Muhsin Faidh al-Kasyani, Abu Hasan Syarif Amili al-Isfahani (w. 1138 H) memulai suatu proyek tafsir menumental dengan tujuan mengemukakan pengertian esoteris dari setiap ayat al-Qur’an dengan merujuk pada tradisi para Imam yang terkait dengan masing-masing ayat. Akan tetapi yang diselesaikannya adalah sebuah buku besar berisi penjelasan –merupakan suatu prestasi penting- yang mengemukakan prinsip dan aturan umum dari berbagai metode hermeneutika Syi’ah.[9] Pada abad-abad sebelumnya sampai sekarang, kita terus menemukan tafsir-tafsir monumental, seperti karya sulthan Ali Syah (w. kira-kira 1318 H) dan Sayyid Husain Thabathaba’I (1321-1402 H) serta yang paling mutaakhir adalah Ayatullah Abdullah Jawadi Amuli yang menjadi salah seorang penafsir al-Qur’an yang paling produktifi di pusat pendidikan ilmiah di kota suci Qom-Iran.



[1] . Qur’an 20:12

[2] . Abdurrahman Habil, Tafsir-tafsir Esoteris al-Qur’an, hal. 33

[3] . Anna M. Schimmel, Simbolisme al-Qur’an, hal. 23

[4] . Ibnu Atha’, Lathaif al-Minan, 252

[5] . lihat terutama hal. 98, 159, 215, 222-23

[6] . Sahl al-Tustari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, hal. 12

[7] . Abdurrahman Habil, Tafsir-tafsir Esoteris al-Qur’an, hal. 47

[8] . ibid, hal.49

[9] . Ibid. 53

Tidak ada komentar: