Senin, 01 Oktober 2007

imajinasi, note and thesis

imajinasi ada yang biasa (standar), Imajinasi itu bisa menghadirkan yang tidak ada at the moment. Ia seperti menciptakan kembali. Imajinasi (khayalan) juga bisa lahir dari the real dan juga unreal. give it name, and futher more, imagination is be our friends in whole of life. imagination can help huma being and in other name it is also our standar of life, the briggest imagination may make the briggest of our life, how to be have as positive a life is how to have a positive imagination.

mengapa tuhan tidak mengucapkan yang terbenar sekaligus dan mengapa harus merevisi berkali-kali kata Ibnu Waraq?

falah itu lebih luas dari najah kata Jafar hadi. imam khosyiin adalah imam ali, kalau kalbu khusyu maka anggota tubuh yang lain juga ikut khusu, dalam riwayat ada anggapan imam ali mati, karena diam seperti seonggok kayu, kata sayidah fatimah itu biasa, karena sangat khusu beliau seperti mati. tanda khusu juga hati akan menangis, bagaimanan tidak menangis karena hati berhadapan dengan Sang Maha Kuasa dan mengetahui betapa lemahnya manusia.

Manusia kaya itu miskin, karean yang kaya hanyalah Allah. jadi kenapa kita masih menggantungkan kepada selain-Nya?


Disertasi Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada 6 Ramadhan 1427 (29 September 2006), Direktur Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Hamid Fahmy Zarkasyi, dinyatakan lulus program doktor. Ini setelah ia berhasil mempertahankan disertasinya di depan tim penguji International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), International Islamic University of Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia, yang terdiri dari Prof Dr Osman Bakar, Prof Dr Ibrahim Zein, Prof Dr Torlah, dan Prof Dr Alparslan Acikgence. Untuk itu Hamid berhak menyandang gelar doktor (PhD).
Alparslan Acikgence sebagai penguji eksternal, memuji disertasi Hamid bertajuk Al-Ghazzali's Concept of Causality sebagai kajian yang memberi sumbangan penting pada sejarah pemikiran Islam. Sebab, pendekatan Hamid terhadap konsep kausalitas al-Ghazzali telah menjelaskan sesuatu yang selama ini dilewatkan oleh kebanyakan cendekiawan pengkaji al-Ghazzali.
Konsep kausalitas al-Ghazzali menjadi populer karena ia merupakan bagian (masalah ke-17) dari Tahafut al-Falasifah. Di situ ia menyatakan bahwa "Apa yang selama ini dianggap hubungan sebab dan akibat bagi kami adalah tidak pasti (ghayr dharuri)." Karena penolakannya terhadap kepastian hukum kausalitas itu maka Ibn Rusyd menuduhnya telah menolak ilmu pengetahuan, sebab katanya sumber ilmu pengetahuan adalah kausalitas.
Kritikan Ibn Rusyd terhadap Tahafut al-Falasifah dalam Tahafut Tahafut khususnya dalam soal kausalitas diamini oleh beberapa cendekiawan Muslim kontemporer. Tak pelak lagi al-Ghazzali pun dituduh sebagai biang keladi kemunduran sains dan filsafat dalam Islam. Padahal disertasi doktor Michael Marmura telah membuktikan bahwa Ibn Rusyd salah paham terhadap al-Ghazzali. Malangnya kesalahpahaman ini dipakai lagi untuk menyimpulkan bahwa pemikiran Ibn Rusyd di ambil Barat sehingga Barat menjadi maju, sedangkan pemikiran al-Ghazzali diambil oleh umat Islam sehingga mundur.
Kenyataannya, pemikiran al-Ghazzali yang menyatakan bahwa hukum kausalitas itu tidak pasti, justru diambil dan dikembangkan oleh Malebranche dan David Hume di Barat. Sedangkan metode skeptiknya serta prinsip-prinsip epistemologinya dimodifikasi oleh Descartes. Sementara itu pemikiran Ibn Rusyd yang diambil Barat adalah teori kebenaran gandanya. Teorinya itu menurut teolog neo-Thomist, Etienne Gilson, menjadi akar rasionalisme di Barat. Tapi pada saat yang sama dipakai para deis untuk menentang wahyu, dan memberi sumbangan kepada lahirnya sekularisme.
Berbeda dari Ibn Rusyd, al-Ghazzali membawa konsep integrasi fisika dan metafisika, sains dan teologi atau agama dan sains. Ini jika konsep al-Ghazzali itu dipahami dengan 'paradigma' yang berbeda dari Ibn Rusyd, tapi bukan dengan teori paradigma Thomas Kuhn. Paradigma atau framework untuk memahami konsep kausalitas al-Ghazzali teori worldview (pandangan hidup atau pandangan alam). Framework ini telah diaplikasikan al-Attas dalam konsep Islamisasinya atau Alparslan dalam memahami konsep sains Islam.
Di Barat, konsep ini digunakan Thomas F Wall untuk kajian filsafat, dan Niniat Smart untuk perbandingan agama. Yaitu dengan mengkaji suatu konsep dalam kaitannya dengan keseluruhan konsep yang terstruktur.
Dengan framework ini posisi al-Ghazzali menjadi jelas, bahwa ia melihat kausalitas pada realitas fisik sebagai bagian dari realitas metafisik. Bahkan realitas makhluk yang relatif itu tergantung kepada realitas metafisik yang absolut. Al-Ghazzali membela konsep Tuhan Maha Pencipta. Proses penciptaan-Nya tertuang dalam Asma al-Husna, yaitu al-Khaliq, al-Bari, al-Musawwir. Karena itu kausalitas pada alam semesta ini, meskipun telah ditentukan sejak awal penciptaannya, ia tetap tergantung pada Kehendak Tuhan dan tidak berjalan sendiri secara alami. Ini berseberangan dengan para filsuf yang membela konsep emanasi, di mana hubungan Tuhan-makhluk bukan dengan perantaraan aksi (fi'il) Tuhan tapi melalui proses emanasi yang pasti (necessary) dan hukum kausalitas pada fenomena alam inipun akhirnya berjalan sendiri secara pasti.
Bantahan al-Ghazzali terhadap kepastian hukum kausalitas bukan tanpa alasan. Sebab kepastian bentuk hubungan (wajh al-iqtiran) sebab-akibat itu tidak dapat dibuktikan secara empiris. Yang ada hanya pengalaman bahwa setiap ada sebab biasanya diikuti oleh akibat (nafs al-iqtiran). Inilah yang ditiru oleh David Hume. Tapi, berbeda dari Hume, al-Ghazzali menganggap apa yang kita saksikan sebagai kebiasaan ('adah) sebab-akibat ini tunduk pada kehendak Allah.
Posisi al-Ghazzali dalam masalah ini berada di antara mutakallimun dan falasifah. Al-Ghazzali menggunakan teori jawhar (atom) para mutakallimun (Asy'ariyyah dan Mu'tazilah). Segala benda dan makhluk di dunia ini terdiri dari substansi (jawhar) dan aksidensi ('ard). Dan semua itu diciptakan Allah secara terus menerus (dawam al-khalq wa al-in'idam). Tapi ia tidak sependapat dengan mutakallimun yang menolak adanya kausalitas. Al-Ghazzali justru sepakat dengan falasifah bahwa di alam semesta ini terdapat hukum kausalitas. Hanya saja ia tidak sependapat dengan falasifah yang mengatakan bahwa hubungan sebab dan akibat (kausalitas) dalam alam semesta ini adalah pasti. Di mana ada sebab pasti di situ akan ada akibat. Setiap api (sebab) pasti membakar (akibat). Bagi al-Ghazzali ini akan membatasi kekuasaan Tuhan. Artinya dengan mengetrapkan konsep Aristotle ini maka hubungan antara alam semesta dengan Tuhan menjadi tidak langsung. Tuhan tidak mempunyai peran langsung dalam mengatur kejadian alam yang berupa sebab akibat ini. Dengan teori ini berarti hukum-hukum alam ini berjalan sendiri tanpa peran langsung Tuhan.
Pandangan falasifah sejalan atau bahkan dapat dikatakan berasal dari konsep emanasi di mana Tuhan sebagai Sebab Pertama dan Makhluk sebagai akibat berkaitan secara pasti. Dari Penyebab Pertama ke akal pertama hingga akal ke sepuluh merupakan kaitan serial yang pasti (necessary). Namun, dalam teori ini akhirnya Tuhan tidak lagi berkaitan langsung dengan dunia materi, termasuk dalam menentukan hubungan kausalitas.
Kajian tentang perdebatan al-Ghazzali dan para falasifah ini tidak dapat didekati dalam perspektif jadali. Ia lebih tepat didekati dengan teori atau framework worldview. Dengan menggunakan falasifah ini, konsep kausalitas al-Ghazzali ditelusuri dari konsepnya tentang Tuhan, yang merupakan realitas Absolut, konsep alam, konsep manusia dan konsep ilmu. Kesemuanya itu diperlukan sebagai matrik perbedaan.
Dari matrik ini maka dapat diketahui bahwa dalam konsep al-Ghazzali kausalitas di dalam realitas fisik dilihat dalam kaitan dengan realitas metafisik. Bahkan kausalitas di dunia fisik sebagai bagian dari kausalitas dalam realitas metafisika. Jika demikian maka ilmu pengetahuan tentang fenomena fisik yang empiris tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan metafisik. Ini berarti bahwa sains merupakan bagian dari teologi. Inilah landasan dari teori kausalitas al-Ghazzali yang secara diametris bertentangan dengan pandangan sains Barat modern yang terpisah dari metafisika (teologi).
Tapi dapatkah kita memperoleh pengetahuan dari hukum kausalitas yang mungkin dikaitkan dengan realitas metafisika. Menurut al-Ghazzali dapat, sebab ia memiliki prinsip integrasi bahwa setiap ilmu pengetahuan agama adalah rasional dan setiap pengetahuan rasional adalah religius. Dalam proses epistemologinya ia menggunakan metode demonstrasi (al-burhan) para filsuf yang ia modifikasi agar sejalan dengan prinsip-prinsip kausalitasnya. Walhasil, pengetahuan yang diperoleh dari kausalitas dalam fenomena alam itu tidak pasti (daruri/necessary), tapi hanya sebatas "tentu" (certain). Jadi tuduhan Ibn Rusyd bahwa al-Ghazzali menolak ilmu pengetahuan ternyata tidak benar.
Thesis yang semula di bawah bimbingan Prof Naquib al-Attas ini diteruskan oleh Prof Dr Cemil Ackdogan, pakar sains Islam asal Turki. Thesis ini seperti harapan penulisnya, dimaksudkan untuk memberi sumbangan awal bagi proses Islamisasi sains kontemporer.n





nafyu sifat dari imam ali itu untuk level hiden treasure, artinya di level guyub mutlaq , the real tidak memiliki atribut.

si a itu manusia,si a itu pelajar dan si a itu sedang menangis

self disclosure tuhan tentu dengan aksi-Nya.

kiritik untuk tajali ibnu arabi . 1 . berarti tuhan unity dengan yang lain dan tidak sempurna 2. berarti ada wujud ketiga, padahal kan hanya ada, tidak ada saja, ? lalu tajali itu apa?

ziyadatul mabani, ziyadatul maani?





Tidak ada komentar: